Oleh
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah Universitas Muhammadiyah Malang
Muhammad Hadidi S.HI |
Karena nilai keabadian dan
universalitas Alquran terletak pada prinsip moralnya, maka pernyataan hukum
(legal specific) seperti hukum potong tangan, cambuk, jilid, dan sebagainya,
tidak berlaku secara universal. Hukuman itu hanyalah solusi temporal dan
bersifat tentatif atas
Tampaknya,
tidak ada isu tentang Islam dan politik di Indonesia yang cukup sensitif,
aktual, dan kontroversial, kecuali isu formalisasi syariat Islam. Yang menarik
untuk dicermati lebih lanjut dari maraknya tuntutan formalisasi syariat Islam
hingga kini adalah, belum terlihat adanya pemaknaan yang lebih maju terhadap
syariat. Sesuatu yang sering dilupakan oleh umat Islam bersemangat
(konservatif) dalam melihat syariat Islam adalah dari aspek historisnya. Karena
itu, kalangan konservatif menganggap, bahwa formalisasi syariat adalah dengan
merevitalisasi (kalau bukan mengadopsi) nilai-nilai keislaman yang berkembang
di Timur Tengah sebagai jalan untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi.
Jika demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa agama dipahami sebagai warisan kesejarahan yang harus diterima
secara taken for granted (bi la
kaifa). Alhasil, syariat dipahami secara reduksionis menjadi hukum-hukum
partikular (fikih). Syariat dimaknai hanya menutupi aurat, mencantumkan huruf
Arab, memberlakukan hukum cambuk, yang diperkuat dengan pengawasan oleh polisi
syariat. Realitas ini secara kasat mata bisa dilihat dan sangat jelas
terbentang dalam layar syariat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah
berlaku sejak 1 Muharram 1423 H.
Sejak awal memang dapat dibaca bahwa
kultur keberagamaan yang berkembang di Aceh tidak memberikan ruang yang luas
bagi budaya, sehingga langgam keberagamaan terlihat bersifat
simbolik-literalistik. Aceh tidak mempunyai eksperimentasi yang cukup untuk
memahami agama dengan menggunakan optik budaya, yang memungkinkan adanya bergaining discourse antara ajaran keagamaan
dan budaya. Di satu sisi, agama harus mengikuti budaya, tapi di sisi lain,
budaya harus mengakomodasi agama. Namun, teori timbal-balik kebudayaan terlihat
sangat langka dalam disket keagamaan yang berkembang di Aceh selama ini.
Persoalannya,
bagaimana membangun wajah syariat Islam yang selama ini terkesan menakutkan dan
cenderung ‘kearab-araban’ alias ahistoris itu, menjadi sosok syariat yang
elegan, tidak menakutkan, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan sosial,
sekaligus tidak bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme yang kini menjadi
isu politik global. Dengan kata lain, syariat Islam yang seperti apakah yang
sekiranya relevan untuk dikembangkan dalam konteks kekinian? Inilah fokus
kajian tulisan ini.
Syariat Simbolik
Eksperimentasi syariat Islam di Aceh
(termasuk hukum cambuk), sesungguhnya memberikan gambaran yang kuat tentang apa
yang saya sebut dengan syariat simbolik. Bahwa yang menjadi ukuran dalam
pemberlakuan syariat Islam di propinsi 'tsunami' itu adalah doktrin-doktrin
sekunder dalam teks-teks keagamaan. Dengan kata lain, apa yang terjadi di Aceh
dengan pemaknaan syariat sebenarnya tidak menyentuh esensi syariat, melainkan
hanya sekadar euforia yang bersifat simbolik. Agama tidak lagi dipahami sebagai
esensi, substansi, dan komitmen, tetapi tradisi kearaban yang bersifat
sekunder.
Lebih
dari itu, dengan adanya polisi syariat yang diproyeksikan menjadi pengawas dan
pengontrol bagi pemberlakuan syariat, maka terjadilah ideologisasi syariat.
Artinya, penerapan syariat akan sangat tergantung pada sejauh mana peran aparat
keamanan (polisi), bukan pada kebebasan masyarakat untuk menerapkan ajaran
agamanya sesuai dengan pemahamannya.
Implikasinya,
polisi syariat sangat dimungkinkan akan melahirkan kecenderungan represif dan
otoritarianistik. Syariat hanya akan diterapkan secara terpaksa bagi
masyarakat, sedangkan pemerintah lokal dan aparat keamanan tidak mendapatkan
kontrol yang serupa. Polisi syariat tidak hanya berdampak negatif bagi suasana
keberagamaan yang pluralis dan inklusif, tetapi dipastikan dapat memandulkan
tradisi ijtihad atas doktrin-doktrin keagamaan, karena pemahaman keagamaan
sangat terpaut dengan otoritas politik.
Jika syariat simbolik semacam ini
diterapkan dan masuk dalam sistem hukum dan politik di Indonesia, maka sangat dimungkinkan
akan mengulangi sejarah kelabu dalam Dinasti Umayah dan Abbasiyah, yang
menggunakan syariat sebagai komoditas politik (Misrawi, 2001). Kecenderungan ke
arah ini sangat nampak dalam penerapan hukum cambuk di Aceh. Indikasinya sangat
jelas, ketika ternyata hukum cambuk itu hanya diberlakukan untuk mereka yang
berekonomi lemah, seperti penjudi, pemabuk, dan pezina (Perda No 3/2003). Sama
sekali tidak menyentuh tindak pidana dengan kerugian sosial, ekonomi, serta
politik yang lebih besar, seperti pelaku korupsi yang biasanya 'dekat' dengan
politik kekuasaan.
Bila
ini yang terjadi, maka atas nama syariat, peminggiran terhadap kaum minoritas
dan tindakan represif dapat berlaku secara massif. Hal ini jelas bertentangan
dengan substansi syariat Islam sebagai jalan agama menuju keadilan dan harmoni
sosial.
Syariat Liberal
Uraian di atas menggambarkan, ketika
syariat Islam dipahami secara simbolik dan direduksi dengan kawasan wajib tutup
aurat, diawasi oleh polisi syariat, penerapan hukum cambuk, atau hukum potong
tangan, tampaknya tidak relevan dan bahkan kontraproduktif bila diterapkan di
Indonesia yang pluralistik ini.
Namun,
jika dipahami dengan paradigma liberal (syariat liberal), maka akan menemukan
karakternya yang inklusif dan toleran, sekaligus relevan dengan realitas
kekinian yang dihadapkan pada isu pluralisme, demokrasi, dan HAM, yang menjadi
agenda utama politik dunia global, termasuk di Indonesia.
Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: A Sourcebook (1998),
memetakan syariat Islam dalam visi liberalnya menjadi tiga. Pertama, liberal syariah, dalam pengertian bahwa
syariat dalam teks tertulis adalah bersifat liberal jika dipahami secara benar.
Sikap liberal ini bukan semata-mata pilihan manusia, tetapi perintah dari Tuhan
yang termaktub dalam Alquran. Kedua, silent
syariah, dalam pengertian bahwa tidak semua persoalan hidup tertampung
dalam syariat. Karena dalam kenyataannya, syariat tidak menyediakan jawaban
atau konsep tentang masalah tertentu, sehingga penyelesaiannya diserahkan
kepada manusia atau menggunakan mekanisme ijtihad. Ketiga, interpreted syariah, dalam pengertian bahwa praktik syariat
dipahami dan dijelaskan oleh penafsiran manusia. Interpretasi manusia terhadap
syariat dilakukan sebagai model kreativitas intelektual terhadap doktrin agama
yang memang membutuhkan tafsir karena tidak tercakupnya semua problem kehidupan
manusia.
Itu
sebabnya, Qomaruddin Khan dalam Political
Concepts of Islam (1983), sebagaimana dikutip oleh Zada (2001),
menyayangkan pandangan yang salah dari sejumlah kaum Muslimin bahwa Alquran
berisi penjelasan yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Sehingga mereka cukup
mendasarkan agendanya pada bagaimana memberlakukan atau menerapkan pesan-pesan
Alquran secara literal.
Padahal, pandangan literal ini
mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam
pengertiannya yang literal, yang hanya menekankan dimensi 'luar'-nya. Dan,
kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh sehingga
menyebabkan terabaikannya dimensi 'kontekstual' dan 'dalam' dari
prinsip-prinsip Islam.
Karena
itu, apa yang mungkin tersirat di balik 'penampilan-penampilan tekstualnya'
hampir-hampir terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya. Dalam contohnya yang
ekstrem, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara kaum Muslim
untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan Alquran sebagai instrumen
Ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi
kehidupan manusia.
Karena itu pula, letak pokok
masalahnya adalah, bagaimana memahami syariat yang tertuang dalam Alquran. Itu
sebabnya, konteksnya bukan lagi bagaimana memberlakukan syariat Islam,
melainkan bagaimana memahami syariat Islam dalam visi Islam liberal, sehingga
syariat Islam secara praksis tidak bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme
yang tumbuh dalam dunia modern.
Dari uraian di atas dapat dipahami,
bahwa yang dimaksud syariat liberal adalah menafsirkan syariat Islam secara
substansial dalam konteks masyarakat kekinian. Perlu dicatat, bahwa kata
'liberal' yang dilekatkan pada kata 'syariat' sama sekali bukanlah penggagahan,
apalagi konspirasi manipulatif terhadap syariat itu sendiri. Melainkan,
meminjam terminologi Ulil Abshar Abdalla (2002), menafsirkan syariat Islam
secara non-literal, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang
sedang dan terus berubah.
Epestimologi Syariat Liberal
Persoalan substansial yang harus
dikedepankan ketika ingin membangun syariat liberal, adalah masalah
epestimologi (metodologi). Dalam konteks ini, paling tidak ada tiga tokoh
Muslim kontemporer yang kerangka epestimologinya dapat dijadikan sebagai basis
acuan metodologis untuk membangun syariat liberal. Ketiganya adalah Fazlur
Rahman (selanjutnya disebut Rahman) dengan double
movement theory (teori gerakan ganda), Muhammad Shahrur dengan limitation theory (teori batas atau
hudud), dan Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta’wil. Dari ketiga metodologi
tersebut, hemat saya, double movement theory yang diintrodusir oleh Fazlur
Rahman, tampaknya, cukup relevan untuk dikembangkan dalam upaya membangun
syariat liberal.
Nah, karena double movement theory itu pada dasarnya dimaksudkan untuk
menafsirkan Alquran secara lebih kontekstual, maka memahami terlebih dahulu
bagaimana pandangan Rahman sendiri terhadap Alquran menjadi hal yang niscaya.
Dalam buku Devine Revelation and The
Prophet (1978), sebagai seorang muslim, Rahman meyakini betul bahwa Alquran
merupakan kalamullah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun. Keyakinan ini, bagi
Rahman, bersifat pivotal alias tidak bisa diganggu gugat. Tanpa keyakinan
semacam ini, demikian Rahman, maka tidak seorang pun dapat disebut sebagai
muslim nominal sekalipun.
Selanjutnya, dalam The Qur’anic Concept of God, The Universe
and Man (1967), Rahman menampik doktrin tradisional yang mengatakan bahwa
proses turunnya Alquran kepada Nabi SAW itu bersifat mekanik dan eksternal.
Menurutnya, proses pewahyuan Alquran sebenarnya merupakan proses kreatif yang
secara psikologis terjadi pada diri Nabi. Karena itu, dalam pandangan Rahman,
Jibril bukanlah agen eksternal yang seolah-olah menyampaikan wahyu seperti
tukang pos yang mengantarkan surat.
Jibril adalah agen Allah SWT yang ada pada diri Nabi dan menjadi bagian dari
diri Nabi itu sendiri, dan karenanya, Alquran menyebut Jibril dengan sebutan
'Ruh' (QS.26:194). Ruh yang dimaksudkan di sini adalah kekuatan, kemampuan atau
agensi yang berkembang dalam hati Nabi dan yang jika diperlukan dapat berubah
menjadi operasi wahyu yang aktual, meskipun pada awalnya Ruh itu 'turun' dari
'atas'.
Lebih lanjut, dalam buku Islam (1979), Rahman mengatakan,
"Ketika persepsi intuitif moral Muhammad mencapai puncaknya yang tertinggi
dan menjadi identik dengan hukum moral itu sendiri (sesungguhnya di saat-saat
seperti ini perilakunya sendiri mendapat pujian Alquran), maka 'kalimat-kalimat
wahyu diberikan bersama-sama dengan inspirasi itu sendiri'. Dengan demikian,
Alquran adalah murni kata-kata ilahi. Tetapi, tentu saja secara sepadan
‘berhubungan intim’ dengan pribadi terdalam dari Muhammad dan tidak bisa
diamati secara mekanis seperti halnya sebuah catatan. Kalam ilahi tersebut
mengalir melalui pikiran atau hati Nabi".
Dari sini dapat dipahami, bahwa
menurut Rahman, Alquran adalah kalamullah
yang mengalir melalui ingatan dan pikiran Nabi untuk merespon situasi
moral-sosial Arab ketika itu dan muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan
dengan latar belakang sosio-historis. Dengan katan lain, Alquran adalah respon
'samawi' terhadap kondisi aktual 'Bumi'. Inilah yang kemudian membawa Rahman pada
satu konklusi bahwa keabadian Alquran tidak terletak pada arti redaksional dan
tekstualnya, tetapi pada makna di balik redaksi itu, yakni prinsip moralnya.
Dengan demikian, Alquran bukanlah kitab undang-undang, tetapi lebih merupakan
kitab tuntunan moral.
Dari sinilah, kemudian Rahman
mengintrodusir sebuah metodologi penafsiran Alquran yang menjamin aktualisasi
ajaran Alquran kapan dan di mana pun, yaitu double
movement theory. Teori ini terdiri dari dua gerakan. Pertama, dari yang
khusus (partikular) kepada yang umum (general). Artinya, sebelum seorang
mufassir (penafsir) mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih
dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti
alasan-alasan hukumnya (ratio legis-‘illat), baik yang disebutkan secara
eksplisit maupun implisit. Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik yang
berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan
saat Alquran diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang mufassir.
Baru setelah itu, dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin disampaikan
oleh Alquran. Dengan demikian, gerakan pertama ini merupakan upaya untuk
memastikan apa sebenarnya yang menjadi cita-cita moral (ideal-moral) dari
pernyataan hukum yang dikandung oleh Alquran.
Kedua, dari yang umum kepada yang
khusus. Artinya, pesan-pesan atau prinsip-prinsip Alquran yang ditemukan lewat
gerakan pertama tersebut kemudian diproyeksikan, diformulasikan, dan
diterjemahkan pada konteks kekinian untuk mengukur sekaligus menjawab
kasus-kasus kontemporer. Meski proses ini membutuhkan kajian cermat terhadap
situasi dewasa ini agar pengukuran kasus-kasus itu bisa dilakukan secara tepat,
namun dari langkah inilah sebenarnya diharapkan nilai-nilai Alquran akan tetap
segar dan hidup sepanjang zaman (salihun likulli zaman).
Dengan demikian, metodologi yang
diintrodusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif,
mondar-mandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik. Metodologi
semacam ini tentu saja akan membawa implikasi, bahwa yang namanya hukum Allah
dalam pengertian seperti yang dipahami oleh manusia itu tidak ada. Yang ada dan
abadi hanyalah prinsip moral. Dengan demikian, hukum potong tangan, misalnya,
hanyalah salah satu model hukuman yang di-istimbath-kan (digali) dari prinsip
moral, demikian pula hukum-hukum yang lain, seperti jilid seratus kali bagi
pezina ghair muhsan (belum menikah), dan sebagainya.
Karena
itu, menurut Abu Hapsin (2002), apa yang disebut ayat ahkam (ayat hukum) dalam
terminologi ushuliyyin (pakar ushul
fikih), dipandang Rahman sebagai 'quasi' hukum, bukan hukum. Sebab, hukum Allah
yang abadi dan universal itu tidak terletak pada teks Alquran, tetapi terletak
pada prinsip moralnya. Ayat tentang pencurian, misalnya, mengandung prinsip
atau cita-cita moral bahwa hak milik harus dijaga. Penjagaan hak milik ini
sudah barang tentu tidak harus diwujudkan dalam bentuk hukuman potong tangan
sebagaimana tersurat dalam Alquran, tetapi boleh diganti dengan bentuk hukuman
lain (penjara, misalnya) selama jelas-jelas dijamin bahwa hukuman pengganti itu
dapat memelihara dan menjaga hak kepemilikan seseorang atas harta bendanya.
Muhammad al-Jabiri dalam Wijhatu al-Nazhr (1992) telah berhasil
menafsirkan secara liberal hukum potong tangan sebagai salah satu tema penting
dalam syariat Islam. Pertama, hukum potong tangan adalah hukum yang sudah ada
pada Islam di Arab. Kedua, di masyarakat Badui dikenal dengan tradisi nomaden,
sehingga sangat sulit bagi pelaku pencurian untuk dipenjara. Karena itu,
hukuman yang diberikan adalah hukum potong tangan. Sedang pada masa Islam,
situasinya tidak berubah, sehingga hukum potong tangan tetap berlaku.
Atas
dasar argumentasi di atas, kemudian al-Jabiri memandang bahwa hukuman bagi
pencuri substansinya bukanlah potong tangan, melainkan hukuman yang bisa
membuat si pelaku menjadi jera. Ini artinya, hukum potong tangan bisa saja
diganti dengan, misalnya, hukuman penjara. Demikian pula dengan hukum cambuk
yang kini diberlakukan di Aceh, yang tentu saja sangat mungkin diganti dengan
hukuman penjara.
Epilog
Uraian di atas menyajikan sebuah
fakta tak terbantahkan, bahwa sesungguhnya eternalitas Alquran itu tidak
terletak pada arti teksnya (zahir al-nas), melainkan terletak pada prinsip dan
cita-cita moralnya. Alquran bukanlah kitab undang-undang yang siap saji, karena
bagaimanapun ia merupakan hasil dari sebuah proses dialogis antara pesan-pesan
Samawi yang abadi dengan kondisi aktual Bumi pada saat Alquran diturunkan.
Lebih dari itu, karena nilai
keabadian dan universalitas Alquran terletak pada prinsip moralnya, maka
pernyataan hukum (legal specific) seperti hukum potong tangan, cambuk, jilid,
dan sebagainya, tidak berlaku secara universal. Hukuman itu hanyalah solusi
temporal dan bersifat tentatif atas peristiwa-peristiwa yang muncul saat
Alquran diturunkan. Dengan kata lain, hukuman itu merupakan suatu produk
transaksi antara keabadian Allah dan situasi ekologis aktual bangsa Arab abad
ke-7. Karenanya, bentuk hukuman itu bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi
waktu dan tempat (taghayyur al-ahkam
bi-taghayyur al-amkan wa al-azman), asalkan tetap mencerminkan nilai dan
prinsip moral Alquran yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut
dengan maqashid al-syari’ah.
Walhasil, dari gagasan liberalisme
yang diusung oleh Rahman melalui double
movement theory-nya itu, ia seolah-olah ingin mengatakan dan berwasiat
kepada kita: "Bahwa perdebatan tentang syariat Islam hendaknya tidak lagi
berkutat pada formalisasi diktum-diktum syariat (Alquran-Alsunnah) dalam sistem
hukum yang berlaku di sebuah negara, melainkan terletak pada bagaimana
menemukan makna substantif syariat Islam dalam visi liberalnya". Penulis
pun mengamininya dan haq al-yakin, karena
hanya dengan syariat liberal inilah, maka syariat Islam akan menemukan sosoknya
yang elegan, tidak menakutkan, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan sosial
dan zaman, sekaligus relevan untuk diterapkan dalam konteks kekinian.
Demikianlah, Wailallahi Turja’ al-Umur…[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar