Oleh
Muhammad Hadidi
Mahasiswa Syariah Universitas Muhammadiyah Malang
Metode Kritis-Historis
Para orientalis menggunakan
metode kritis-historis (überlieferungsgeschichtliche) ketika mengkaji al-Qur’an. Orientalis yang
termasuk paling awal mengaplikasikan metode tersebut ke dalam studi al-Qur’an adalah
Theodor Nöldeke (1836-1930).[1] Sehingga kini, metode tersebut masih terus digunakan
oleh para orientalis lain.
Asumsi dasar
dari metode-kritis historis ini adalah teks al-Qur’an, sebagaimana teks-teks
“kitab suci” lainnya telah mengalami perubahan-perubahan. Selain tidak memiliki
autografi dari naskah asli, wajah teks asli juga telah dirusak (berubah), sekalipun
alasan perubahan itu demi kebaikan. Manuskrip-manuskrip awal al-Qur’Én,
misalnya, tidak memiliki titik dan baris, serta ditulis dengan khat Kufi yang
sangat berbeda dengan tulisan yang saat ini digunakan. Jadi, teks yang diterima
(textus receptus) saat ini, bukan fax dari al-Qur’Én yang pertama
kali. Namun, ia adalah teks yang merupakan hasil dari berbagai proses perubahan
ketika periwayatannya berlangsung dari generasi ke generasi di dalam komunitas
masyarakat.[2]
Menurut Arthur
Jeffery, seorang orientalis berasal dari Australia, al-Qur’Én menjadi teks
standart dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberapa tahap.[3] Dalam
pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat (the
action of community). Tindakan komunitas masing-masing agama.yang
menjadikan sebuah kitab itu suci.[4] Penduduk
Kufah, misalnya, menganggap MuÎÍaf ‘AbdullÉh ibn Mas‘Ëd sebagai al-Qur’Én edisi
mereka (their Recension of the Qur’Én). Penduduk Basra menganggap MuÎÍaf
AbË MËsÉ, penduduk Damaskus dengan MuÎÍaf MiqdÉd ibn al-Aswad, dan penduduk
Syiria dengan MuÎÍaf Ubay.[5]
Dengan
menggunakan metode kritis-historis, para orientalis menganalisa sejarah teks al-Qur’Én
dari zaman Rasulullah saw sampai tercetaknya teks al-Qur’Én.
Ketika Muhammad hidup, dalam pandangan Aloys Sprenger (1813-1893), [6] Hartwig Hirshfeld (m. 1934),[7] dan Arthur
Jeffery, [8] Régis
Blachère,[9] Muhammad tidak
berniat untuk menghimpun materi wahyu ke dalam sebuah mushaf.
Mengenai mushaf yang dihimpun pada zaman AbË Bakr dan ‘Umar, sebagian
orientalis seperti Leone
Caentani (m. 1935) dan Friedrich Schwally (m. 1919)[10] menolak jika
pada zaman Abu Bakr, al-Qur’Én telah dihimpun. Menurut Caentani, atsar mengenai mushaf telah dihimpun
pada zaman Abu Bakr bertujuan untuk menjustifikasi tindakan ‘UthmÉn menghimpun
al-Qur’Én.[11] Sedikit
berbeda dengan kedua orientalis tersebut, orientalis lain seperti Arthur
Jeffery menganggap bahwa Mushaf Abu Bakr ada namun mushaf tersebut bukanlah
mushaf resmi)., namun mushaf pribadi (It was a private collection made for
the first Caliph AbË Bakr).[12] Jeffery menegaskan
banyak muÎÍaf lain yang beredar dan beredar di berbagai wilayah. Diantaranya,
SÉlim ibn Mu‘qib, ‘AlÊ ibn AbÊ ÙÉlib, Anas ibn MÉlik, AbË MËsÉ al-Ash‘arÊ, Ubay
ibn Ka‘b dan AbdullÉh ibn Mas‘Ëd.[13] Beragam
mushaf sudah beredar di berbagai wilayah. MuÎÍaf MiqdÉd ibn al-AswÉd,[14] yang
berdasarkan kepada MuÎÍaf ibn Mas‘Ëd beredar di Damaskus. MuÎÍaf Ibn Mas‘Ëd
digunakan di KËfah. MuÎÍaf AbË MËsÉ al-Ash‘arÊ di Basra dan Mushaf Ubay ibn
Ka‘b di Syiria. Pendapat Jeffery yang menganggap mushaf Abu Bakar adalah mushaf
pribadi diikuti oleh para orientalis lain seperti Richard Bell,[15] Régis Blachère,[16] dan bahkan pemikir Muslim seperti MusÏafÉ
MandËr.[17]
Dengan kajian historis-kritis,
Arthur Jeffery juga menyimpulkan sebenarnya
terdapat muÎÍaf-muÎÍaf tandingan
(rival codices) yang menandingi Mushaf Uthmani. Menurut Jeffery,
terdapat 15 muÎÍaf primer dan 13 muÎÍaf sekunder.[18] Bagi Jeffery,
banyaknya MuÎÍaf pra-‘UthmÉni menunjukkan bahwa pilihan ‘UthmÉn terhadap
tradisi teks Medinah tidak berarti pilihan terbaik.[19] Jeffery juga
menyimpulkan Ibn Mas‘Ëd menolak untuk menyerahkan muÎÍafnya kepada ‘UthmÉn yang
mengirim teks standart ke KËfah.[20]Dalam
pandangan Jeffery, Ibn Mas‘Ëd mengeluarkan al-FÉtiÍah,[21] surah al-NÉs
dan al-Falaq dari al-Qur’Én. Jeffery juga berpendapat Ubay ibn Ka‘b telah menambahkan
dua ekstra surah yaitu al-HafÌ dan al-khalÉ[22]ke dalam al-Qur’an. Jeffery juga menyalahkan tindakan ‘UthmÉn yang
menutup perbedaan mushaf;[23] menuduh al-×ajjÉj ibn YËsuf al-ThaqÉfÊ telah membuat al-Qur’an
baru dan
mengecam pembatasan ikhtiyÉr
(the limitation of ikhitiyÉr) yang dilakukan oleh sultan Ibn MuqlÉ (m.
940 M) dan sultan Ibn ‘ÔsÉ (m. 946 M) pada tahun 322 H karena desakan dan
rekayasa Ibn MujÉhid (m. 324/936 M).[24]
Disebabkan persoalan-persoalan yang disebutkan di atas, Jeffery ingin menyusun
al-Qur’Én dengan bentuk yang baru ia sebut sebagai al-Qur’Én edisi kritis (a
critical edition of the Qur’Én).
Metode kritis-historis yang diterapkan para orientalis
sebenarnya berasal dari studi kritis kepada Bibel. Metode kritis-historis
muncul disebabkan Bibel memiliki persoalan yang sangat mendasar seperti
persoalan teks, banyaknya naskah asal, versi teks yang berbeda-beda, redaksi
teks, gaya
bahasa (genre) teks dan bentuk awal teks (kondisi oral sebelum Bibel disalin).
Persoalan-persoalan tersebut melahirkan kajian Bibel yang kritis-historis.
Akhirnya, lahirlah kajian-kajian kritis Bibel yang mendetil seperti kajian
mengenai studi filologi (philological
study), kritik sastra (literary
criticism), kritik bentuk (form
criticism), kritik redaksi (redaction-criticism),
dan kritik teks (textual criticism),
sebagaimana yang akan dipaparkan di bawah ini.
Kajian Filologis
Kajian
filologis (philological study) sangat penting untuk menentukan makna
yang diinginkan pengarang. Kajian
filologis bukan hanya mencakup kosa kata, morfologi, tata bahasa, namun ia juga
mencakup studi bentuk-bentuk, signifikansi, makna bahasa dan sastra.[25]
Pada tahun 2001, Christoph Luxenberg (nama samaran), dengan
pengetahuan Syiria-Aramaik yang masih perlu dipertanyakan (shaky)
menyimpulkan al-Qur’Én perlu dibaca dalam bahasa Aramaik. Dalam pandangan
Luxenberg, sebagian besar al-Qur’Én tidak benar secara tata bahasa Arab.
Al-Qur’Én ditulis dalam dua bahasa, Aramaik dan Arab.[26]
Luxenberg menulis “Cara membaca al-Qur’Én dengan bahasa
Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa
al-Qur’Én” (Die
syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclüsselung der
Koransprache). Dengan menggunakan metode ilmiah
filologis, (the scientific method of philology) Luxenberg ingin
menghasilkan teks al-Qur’Én yang lebih jelas (producing a clearer text of
the Qur’Én). Ia berpendapat bahwa pada zaman Muhammad, bahasa Arab bukanlah
bahasa yang tertulis. Bahasa komunikasi yang tertulis adalah bahasa Syiriak.
Bahasa Syiriak ini digunakan di Timur Dekat sejak dari abad kedua hingga abad
ketujuh. Syiriak adalah bahasa Edesssa, sebuah kota
di atas Mesopotamia. Ketika Edessa berhenti
menjadi sebuah entitas politik, orang-orang Kristen masih menggunakan bahasa
tersebut yang kemudian menjadi sebuah budaya. Bahasa tersebut menyebar ke
seluruh Asia sejauh Malabar dan Timur Cina.
Ketika al-Qur’Én muncul, bahasa Syiriak masih menjadi bahasa komunikasi pada
umumnya masyarakat Aramaean, Arab dan sedikit bangsa Persia. Dan yang paling penting
diketahui, menurut Luxenberg, literatur Syiriak-Aramaik adalah ekslusifitas
Kristen.[27]
Kajian filologis Luxenberg terhadap al-Qur’Én
menggiringnya untuk menyimpulkan: (1) bahasa al-Qur’Én sebenarnya bukan bahasa
Arab. Karena itu, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau
sulit dipahami kecuali dengan merujuk pada bahasa Syriak-Aramaik yang konon
merupakan merupakan lingua franca pada masa itu; (2) Bukan hanya
kosakatanya berasal dari Syriak-Aramaik, bahkan isi ajarannya pun diambil dari
tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syiria (Peshitta); (3) Al-Qur’Én
yang ada tidak otentik, perlu ditinjau kembali dan diedit ulang.[28]
Kajian Sastra
Kritik sastra (literary criticism)
memiliki banyak maksud. Salah satunya merujuk kepada pendekatan khusus ketika
mengkaji sejarah teks Bibel, yang disebut juga dengan studi sumber (source
criticism). Kritik sumber pertama kali muncul pada abad 17 dan 18 ketika
para sarjana Bibel menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan di
dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel. Mereka menyimpulkan kandungan Bibel
akan lebih mudah dipahami jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bibel
diteliti.[29]
Salah seorang
tokoh dalam studi sumber dalam Perjanjian Lama (L) adalah Jean Astruc
(1684-1766). Menurutnya, Musa menulis Taurat berdasarkan beberapa dokumentasi
tertulis, bukan dari inspirasi ilahi apalagi tradisi lisan turun-temurun.[30] Jean
Astruc mendasarkan teorinya disebabkan hal berikut. Dalam Kejadian 1
menggunakan kata Elohim untuk menyebut nama Tuhan, sedangkan cerita dalam
Kejadian 2 dan 4 menggunakan kata Yahweh. Berdasarkan kepada fakta ini, Jean
Astruc menyimpulkan Musa memiliki dua sumber dokumen. Dokumen pertama yang
dengan regular menggunakan Elohim dan dokumen yang kedua secara teratur
menggunakan kata Yahweh.[31]
Source criticism mendapat wajah baru setelah
Julius Wellhausen (1844-1918) menulis Prolegomena
to the History of Israel (1878).
Menurut Wellhausen, sumber bagi Musa untuk menulis Taurat berasal dari 4
dokumen, yang disebut dengan dokumen J, E, D dan P. Materi dalam dokumen “J”
(disebut demikian sebagai singkatan kepada Yahweh [Jehovah]) diduga telah
ditulis sekitar 850 S.M di kawasan Kerajaan bagian selatan. Dokumen dalam “J”
itu adalah personal, biografis dan anthropormohis. Dokomen dalam “J” meliputi
kenabian seperti etika dan refleksi teologis. Materi dalam dokumen “E” (disebut
demikian sebagai singkatan kepada Elohim [Tuhan]) dan ditulis sekitar tahun 750
S. M. di kawasan Kerajaan bagian Utara. Dokumen dalam “E” lebih objektif,
kurang menyentuh masalah etika dan refleksi teologis dan lebih kepada
partikular yang konkrit. Menurut beberapa sarjana setelah Wellhausen, kedua
dokumen tersebut digabungkan sekitar taahun 650 S. M. oleh seorang editor yang
tidak diketahui. Hasilnya menjadi “JE.” Karangan tersebut menjadi lengkap
dangan materi “D” dan “P”. “D” ditulis sekitar tahun 621 S.M., dan “P” ditulis
sekitar 570 sampai 445 S.M. Materi dalam dokumen “P” menyentuh asal-mula dan
institusi teokrasi, genealogi, ritual dan pengorbanan (sacrifices).[32]
Kritik Bentuk
Kritik sumber
memiliki kelemahan-kelemahan. Menurut Hermann Gunkel (1862-1932), kritik sumber
(source criticism), yang memfokuskan
penelitian kepada pengarang dan kapan pengarang tersebut berkarya, bukanlah
prioritas dalam studi kritis PL. Sebabnya, metode tersebut tidak cukup untuk
menemukan akar-akar pemikiran keagamaan. Menurut Gunkel, fokus penelitian yang
lebih penting untuk dilakukan adalah menelusuri latar-belakang teks dan fikiran
keagamaan para pengarang, mencari asal mula (Sitz im Leben) dari bentuk (Gattungen)
yang digunakan, serta menelusuri asal-mula motif dan tema di dalam
dokumen-dokumen. Oleh sebab itu, kembali kepada sejarah ketika zaman transmisi
oral, suatu keadaan dimana kehidupan sebenarnya ditemukan sangat penting untuk
dikaji.[33]
Bagi Gunkel,
kritik-kritik sumber telah mengabaikan puisi lisan dan bentuk-bentuk primitif
yang masih ada dalam Taurat.[34]
Padahal, memahami struktur, setting dan maksud dari setiap unit susastra dibelakang materi PL yang eksis,
merupakan hal yang lebih penting. Gunkel mengibaratkan penafsir yang memulai
dengan pengarang dan dokumen (yang menjadi fokus penelitian source criticism) bagaikan membangun
rumah dengan atap. Gunkel tidak bermaksud menolak pendekatan source criticism yang dilakukan
Wellhausen. Namun, dalam pandangannya, penelitian genre (Gattungsforschung)
adalah penelitian yang lebih mendasar dan prioritas. Baginya, dengan mengetahui
genre atau jenis-jenis sastra (literary types) yang terwakili di dalam
PL, maka kesusastraan Israel
kuno secara menyeluruh, yaitu hubungannya yang fungsional dengan seluruh
kehidupan masyarakat beserta sejarahnya dapat dipahami.[35]
Dalam Perjanjian Baru, “sejarah-bentuk” (Formgeschichte) dipelopori oleh sarjana Jerman seperti
Martin Dibelius (1919), K. L. Schmidt (1919) dan Rudolph Bultmann (1921). Aplikasi
form criticism ke dalam studi Perjanjian Baru memiliki dua asumsi
dasar. Pertama, ada sebuah periode mengenai dakwah Yesus oleh orang-orang yang
mempercayainya, yang mendahului penulisan Bibel. Kedua, dalam periode tersebut
materi dari dan mengenai Yesus kebanyakannya telah beredar sebagai unit-unit
oral yang dapat ditentukan dan diklasifikasikan menurut bentuk-bentuknya. Jadi,
Bibel adalah hasil dari memilih dan memilah yang sampai kepada para penulis
Bibel di dalam berbagai bentuk.[36]
Kritik Redaksi dan Kritik Teks
Kritik
redaksi (redaction criticism) di dalam studi Bibel bertujuan untuk
menentukan bagaimana para pengarang Bibel menggunakan materi-materi yang ada di
tangan mereka. Kritik redaksi berusaha untuk memahami mengapa para penulis Bibel
menulis seperti itu dan mempelajari materi-materi yang mereka tambahkan ke
dalam karangan mereka. Kritik redaksi memfokuskan kepada apa yang dimasukkan
dan apa yang tidak beserta perubahan-perubahan sumber-sumber yang diketahui
pangarang Bibel. Bukan kepada tradisi oral dan sumber-sumber Bibel itu sendiri.[37]
Kritik teks (textual
criticism) akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya menetapkan
akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu edit (recension)
dan amandemen (emendation). Mengedit adalah memilih, setelah memeriksa
segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang
menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah menghapuskan
kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di dalam manuskrip-manuskrip yang
terbaik.[38]
Kesimpulan
Metode kritis-historis yang berasal dari problematika
studi Bibel tidak tepat untuk diterapkan ke dalam studi al-Qur’an. Sebabnya,
al-Qur’an tidak memiliki persoalan teks sebagaimana yang dialami oleh Bibel. Al-Qur’Én
adalah tanzÊl. Jadi, al-Qur’Én tidak
sama dengan dengan teks karangan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
yang artinya: “Seandainya dia
(Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang
dia pada tangan kanannya, kemudia benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.[39]
Allah juga berfirman yang artinya: “Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’Én) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[40]
Allah juga berfirman yang artinya:
“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji.”[41]
Selain itu, metode kritis-historis tidak
dibangun atas dasar keimanan. Padahal, ilmu mengenai al-Qur’Én adalah
menyangkut masalah keimanan. Oleh sebab itu, kaum Muslimin perlu berhati-hati
ketika membaca karya orientalis mengenai al-Qur’Én. Abu Hurayrah, Ibn ÑAbbas,
Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, al-Dahhak, Ibrahim al-Nakhai
menyatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah din (agama). Oleh sebab itu,
perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” (inna hadza al-Ñilm din fanzuru Ñamman ta´khuzuna dinakum).[42]
Selain itu,
para orientalis tidak bisa dianggap sebagai pakar dalam studi al-Qur’Én.
Sebabnya, mereka tidak memenuhi beberapa persyaratan untuk menafsirkan
al-Qur’Én, seperti akidah yang sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan
akhlak Islam. Al-ÙabarÊ, misalnya, menegaskan bahwa
syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut
sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah
yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan! (min
shartihi ÎiÍÍat al-i‘tiqÉd, wa luzËm sunnat al-dÊn, fainna man kÉna magmËÎan ‘alayhi fÊ
dÊnihi, lÉ yu’taaamana ‘alÉ al-dunyÉ, fa kaifa ‘alÉ al-dÊn!).[43]
Senada dengan al-ÙabarÊ,
al-SuyËÏÊ mengatakan
bahwa sikap sombong, cenderung kepada bid‘ah, tidak
tetap iman dan mudah goyah dengan godaan, cinta dunia yang berlebihan dan terus-menerus
melakukan dosa bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu
Allah swt.[44]
Jadi, keimanan
dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’Én sangat
penting bagi seorang yang mengkaji al-Qur’Én dan metode-kritis
adalah parasit yang akan menghilangkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran
al-Qur’an.
ISID, 20
agustus 206
[1]
Pemaparan lebih mendalam mengenai karya Nöldeke tersebut, lihat karya penulis Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an:
Kajian Kritis (Jakarta:
Gema Insani Press, 2005), 49-50.
[2] Arthur
Jeffery, The Qur’Én as Scripture (New
York: Russell F. Moore Companya, 1952), 89-90, selanjutnya disingkat Scripture.
[3] Arthur
Jeffery, “The Qur’Én
as Scripture,” MW 40 (1950), 41.
[4] Arthur
Jeffery menyatakan: “It
was the community which decided this matter of what was and what was not
Scripture. It was the community which selected and gathered together for its
own use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of
religious authority valid for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur
Jeffery, “The Qur’Én
as Scripture,” MW 40 (1950), 43.
[5] Arthur
Jeffery, Scripture, 94-95.
[6]Muhammad sebagai penyampai
al-Qur’Én untuk orang ‘yang buta huruf’ bukan untuk ditulis di atas kertas.
Dikutip dari Daniel A. Madigan, The Qur’Én’s Self-Image: Writing and Authority in
Islam’s Scripture (New Jersey:
Princeton University Press, 2001), 18, selanjutnya diringkas The Qur’Én’s Self-Image.
[7] Muhammad
lebih suka para muridnya menghapal materi wahyu tersebut. Lihat Hartwig
Hirschfeld, New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran
(London: Royal Asiatic Society, 1902), 5, selanjutnya diringkas New Research.
[8] Arthur
Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’Éns, (LEiden: E.
J. Birll, 1937), 5-6, selanjutnya diringkas Materials.
[9] Dikutip
dari Daniel A. Madigan, The Qur’Én’s
Self-Image, 21.
[10] Ibid.,
8
[11] Harald
Motzki, “The Collection of the Qur’Én:
A Reconstruction of Western Views in Light of Recent Methodological
Developments,” DerIslam 78
(2001), 7.
[12] Arthur
Jeffery, Scripture, 94.
[13] Ibid.
[14] Jeffery
memberi catatan bahwa mungkin yang dimaksud bukan MiqdÉd tetapi
Mu‘az ibn Jabal. Hal ini sudah diungkapkan oleh Bergsträsser. Lihat
catatan kaki Materials, 374.
[15] W. M.
Watt & Richard Bell, Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1970), 40-42. Bell
menyimpulkan ÍadÊtÍ
mengenai al-Qur’Én dihimpun pada masa kekhalifahan AbË Bakr dielaborasi hanya
untuk menghindari supaya ‘himpunan’ al-Qur’Én yang pertama kali bukanlah fakta
yang muncul belakangan.
[16] Menurut
Blachère, AbË Bakr dan ‘Umar menyuruh
Zayd menghimpun al-Qur’Én karena perasaan inferior dibanding para sahabat lain
yang telah terlebih dahulu memiliki muÎÍaf. Dikutip dari ‘AbdË ØabËr ShÉhin, TÉrikh al-Qur’Én (Kairo: DÉr al-Qalam, 1966),
108-09.
[17] Ia berpendapat motivasi yang
mendorong AbË Bakr dan ‘Umar adalah perasaan rendah diri (murakkab naqÎ),
dan karena ‘Umar memberikan muÎÍaf tersebut kepada anaknya, maka muÎÍaf
tersebut adalah harta pribadi (mÉliyah shakÎiyyah). Dikutip dari, ‘AbdË ØabËr ShÉhin, TÉrikh al-Qur’Én, 109.
[18]Arthur Jeffery, Materials,
14.
[19] Jeffery menyatakan: “It is possible, as we have
already seen, that in choosing the Medinan text tradition for canonization
‘‘UthmÉn chose the best of the text available. We can never know this for
certain the one way or the other unless the unexpected happens and we recover
some considerable portion of one of the rival texts. A collection of the
variants still surviving from the old codices is our sole means of forming any
judgment as to the type of text they presented.” Arthur Jeffery, Materials,
15.
[20] Ibid.,
20-21.
[21] Lihat Arthur Jeffery, “A
Variant Text of the Fatiha”, MW 29 (1939), 158.
[22] Ibid., 116.
[23] Arthur
Jeffery, Materials, 7-8.
[24]Arthur
Jeffery, Scripture, 99.
[25] Edgar
Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress Press,
1975), 49, selanjutnya diringkas The Historical-Critical Method.
[26] François De Blois, Die syro-aramäische
Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclüsselung der Koransprache.
By ‘Christoph Luxenberg’ (anonim), JQS 5 (2003), 92-97.
[27] Ibid., 3.
[28] Dikutip dari Syamsuddin Arif, “Al-Qur’Én, Orientalisme dan Luxenberg,” al-Insan 1
(2005), 19.
[29] Richard
N. Soulen and R. Kendal Soulen, Handbook of Biblical Criticism (London: Westminster John Knox
Press, 2001), 105; 178-79.
[30] C.
Houtman, ‘The Pentateuch,” dalam The
World of the Old Testament: Bible Handbook, ed. A. S. Vand Der Woulde
(Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1989), 2:170, selanjutnya
disingkat The Pentateuch.
[31] Ibid.,
2:171.
[32] Allen
P. Ross, “Genesis,” dalam The Bible
Knowledge Commentary: An Exposition of the Scriptures by Dallas Seminary
Faculty, editor John F Walvoord dan Roy B. Zuck (Sp Publications, Inc., 1985),
15-16.
[33] C.
Houtman, The Pentateuch, 2: 176.
[34] Lawrence Boadt, Reading the Old Testament: An Introduction
(New York: Paulist Press, 1984), 106.
[35] Dikutip
dari dari John H. Hayes, An Introduction
to Old Testament Study (Tennessee: Abingdon, 1979),, 127-29.
[36] Edwin
D. Freed, The New Testament: A Critical Introduction (California:
Wadsworth Publishing Company, edisi kedua 1991), 78.
[37] Ibid.,
80-81.
[38]Bruce M.
Metzger, The Text of the New Testament, 156. Untuk mengetahui lebih
lanjut mengenai sejarah perkembangan textual criticism di dalam Perjanjian
Baru, lihat juga juga karyanya yang lain seperti A Textual Commentary on
the Greek New Testament (United Bible Societies’, 1975), dan The Canon
of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance (Oxford;
Oxford University Press: 1975).
[39] Surah al-Haqqah (69: 44-46).
[40] Surah
al-Najm (53: 3-4).
[41] Lihat
juga firman Allah dalam surah-surah lain, seperti: Surah Fussilat
(41: 42); al-Shu‘ara’
(26: 192); al-Sajdah (32: 2); al-Zumar (39: 1); al-Mu’min
(40: 2); Fussilat (41: 2); al-Jathiyah (45: 2); al-Ahqaf
(46: 20) al-Waqi‘ah (56: 80); al-Haqqah (69:
43).
[42] ImÉm AbÉ HÉtim MuÍammad ibn ×ibbÉn, Kitab al-MajruhÊn min
al-MuhaddithÊn wa al-ÖuÑafÉ’
wa al-MatrËkÊn, editor MaÍmËd IbrÉhÊm ZÉyid (×alb/Aleppo: DÉr al-WaÑy, 1396 H), 1: 21-23.
[43] Dikutip
dari JalÉl al-DÊn al-SuyËÏÊ,
al-ItqÉn fÊ ÑulËm al-Qur’Én (Beirut: DÉr al-KitÉb al-‘ArabÊy, 2003), 854.
[44] Ibid.,
854-55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar