MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
-----
DEMOKRASI DAN HAK ASASI
MANUSIA[1]
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[2]
A. Demokrasi, HAM, dan Negara
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari
sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga
dapat dimaknai sebagai hasil
perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya,
sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin
harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan
kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati
posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi
tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara
mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai
kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara
mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang
bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak
kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.[3] Karena setiap manusia
diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan
kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun
kenyataan menunjukan bahwa manusia
selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat
kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan
secara individual. Akibatnya,
muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial
tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi
religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.[4] Namun kekuasaan berdasarkan
legitimasi-legitimasi tersebut dengan
sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena
mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya.
Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi
kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak
yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan
negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa
dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otorite r.
Konsepsi demokrasilah yang
memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan
kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai
pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Berdasarkan pada teori kontrak
sosial,[5]
untuk memenuhi hak-hak tiap
manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual,
tetapi harus bersama-sama. Maka
dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan
bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk
pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan
batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum
tertinggi di suatu negara (the supreme
law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum
dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan
umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat
terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan
manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang
berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara
hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping
merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan
demokrasi karena konstitusi
adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.[6]
Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan
perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau
hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip
demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa
orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang.
Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat,
melainkan democratische rechtsstaat.[7]
Sebagaimana telah berhasil
dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak
asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam
Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya
berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia.
Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27
materi berikut:
1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya[8].
2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah[9].
3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi[10].
4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu[11].
5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali[12].
6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya[13].
7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat[14].
8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia[15].
9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi[16].
10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik
dari negara lain[17].
11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan[18].
12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan[19].
13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat[20].
14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun[21].
15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia[22].
16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya[23].
17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum[24].
18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja[25].
19. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan[26].
20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap
orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut[27].
21. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban
bangsa[28].
22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan
yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya[29].
23. Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah[30].
24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan[31].
25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas,
dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen menurut
ketentuan yang diatur dengan undang-undang[32].
26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis[33].
Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke
dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat
menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup
ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka rumusan hak
asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup lima kelompok materi
sebagai berikut:
1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan menjadi:
a. Setiap orang berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b. Setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c. Setiap orang berhak untuk
bebas dari segala bentuk perbudakan.
d. Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya.
e. Setiap orang berhak untuk
bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f. Setiap orang berhak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
g. Setiap orang berhak atas
perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
h. Setiap orang berhak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i. Setiap orang berhak untuk
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
j. Setiap orang berhak akan
status kewarganegaraan.
k. Setiap orang berhak untuk
bebas bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan dan kembali ke
negaranya.
l. Setiap orang berhak
memperoleh suaka politik.
m. Setiap orang berhak bebas dari
segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan
hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apapun
atau bagaimanapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan
dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ketentuan tersebut tentu tidak
dimaksud dan tidak dapat diartikan atau digunakan sebagai dasar untuk
membebaskan seseorang dari penuntutan atas
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan
hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memastikan
bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak
yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sinilah letak
kontroversi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945
disahkan beberapa waktu yang lalu.
2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan
menyatakan pendapatnya secara damai.
b. Setiap warga negara berhak
untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
c. Setiap warga negara dapat
diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
d. Setiap orang berhak untuk
memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
e. Setiap orang berhak untuk
bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan
kerja yang berkeadilan.
f. Setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi.
g. Setiap warga negara berhak
atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan
pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
h. Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi.
i. Setiap orang berhak untuk
memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.
j. Setiap orang berhak
mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat
manusia.
k. Negara menjamin penghormatan
atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan
zaman dan tingkat peradaban bangsa[34].
l. Negara mengakui setiap
budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
m. Negara menjunjung tinggi
nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran
agamanya[35].
3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a. Setiap warga negara yang
menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan
yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.
b. Hak perempuan dijamin dan
dilindungi untuk mencapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
c. Hak khusus yang melekat pada
diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan
dilindungi oleh hukum.
d. Setiap anak berhak atas kasih
sayang, perhatian dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara
bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya.
e. Setiap warga negara berhak
untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang
diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f. Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
g. Kebijakan, perlakuan atau
tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan
yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok
tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi dengan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus sebagaimana ditentukan
dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (13).
4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a. Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
b. Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan
sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan ketertiban
umum dalam masyarakat yang demokratis.
c. Negara bertanggungjawab atas
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
d. Untuk menjamin pelaksanaan
hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat
independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan dan kedudukannya
diatur dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan
yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap
merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara.
Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang
memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang,
selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang
hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan
apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang
oleh setiap manusia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan
oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia
berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang
di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain
sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban
asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai
manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal
Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia yang mengandung
nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa
Indonesia juga memandang bahwa The Universal
Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh
Inter-Action Council pada tahun 1997
juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi
The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesadaran umum
mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem
hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu diadopsikan ke dalam
rumusan Undang-Undang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan
sendiri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang
Dasar ini mencakup warisan-warisan pemikiran mengenai hak asasi manusia di
masa lalu dan mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang
di masa-masa yang akan datang.
B. Perkembangan Demokrasi dan
HAM
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebebasan
dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan penjajahan meningkat tajam dan
terbuka dengan menggunakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia sebagai
instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan
kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada
pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia
dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan
berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi
dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni
Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di
negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.[36]
Semua peristiwa yang mendorong munculnya
gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan
yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa
dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan
rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia
pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial
bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di
semua negara yang terjajah secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara
bersama-sama menyatu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.
Sedangkan yang lebih menonjol selama
paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang
otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik
dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan
yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia
di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa
tertindas maupun oleh pemerintahan negara-negara lain yang merasa
berkepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di
negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.
Karena itu, pola hubungan kekuasaan
antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami
perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperankan
oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan Government to
Government (G to G) dan hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola
hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to P atau P to G. Semua kemungkinan
bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi pemerintahan ataupun atas prakarsa
perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara
lain dapat bertindak untuk melindungi warga-negara dari negara lain atas nama
perlindungan hak asasi manusia.[37]
Dengan perkataan lain, masalah pertama
yang kita hadapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi
manusia itu haruslah dilihat dalam konteks relationalistic
perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu sendiripun
juga mengalami perubahan berhubung dengan kenyataan bahwa elemen-elemen
kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan
juga terkait dengan kekuasaan-kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan
teknologi dan industri yang justru memperlihatkan peran yang makin penting
dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-prosedur hak asasi manusia
dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks hubungan kekuasaan politik, juga
harus dikaitkan dengan konteks hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.[38]
Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan
kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang
menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era
industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan
konsumsi ini terus berkembang di semua sektor kehidupan kemasyarakatan dan
kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat
dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi.
Negara, dalam hal ini merupakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsumennya.
Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual
sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari eksploitasi demi keuntungan
dan kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau
harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:[39]
1.
Struktur kekuasaan dalam hubungan antar
negara yang dewasa ini dap at dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung
hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang menguasai dan
mendominasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan
badan-badan internasional, baik yang menyangkut kepentingan-kepentingan
politik maupun kepentingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2.
Struktur kekuasaan yang tidak demokratis
di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otoritarianisme
yang hanya menguntungkan segelintir kelas penduduk yang berkuasa ataupun kelas
penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3.
Struktur hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta manajemen
produsen dengan konsumen di setiap lingkungan dunia usaha industri, baik
industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan
“atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global
antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan
politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan fisik termasuk
kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh
seseorang, atau sekelompok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya
dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama. Di pihak lain, makin
tinggi peringkat seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang
lain atau kelompok lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang
dimilikinya serta makin besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain
itu secara sewenang-wenang demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan
yang timpang antara negara maju dengan negara berkembang, antara suatu
pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan
konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan yang pada gilirannya mendorongnya
munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah
satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak
asasi manusia adalah bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan
kelas (meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.
Sering dikemukakan bahwa pengertian
konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya
telah melampaui tiga generasi perkembangan. Ketiga generasi perkembangan
konsepsi hak asasi manusia itu adalah:[40]
Generasi Pertama, pemikiran mengenai
konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan
sejak era enlightenment di Eropa, meningkat
menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan
generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan
naskah Universal Declaration of Human Rights[41] Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak
asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara,
seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat
dengan Declaration of Independence, dan di Perancis
dengan Declaration of Rights
of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi
hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar
manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Pada perkembangan selanjutnya yang dapat
disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, di samping adanya International
Couvenant on Civil and Political Rights,[42] konsepsi hak asasi
manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar
kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak
untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan
penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua
ini tercapai dengan ditandatanganinya International Couvenant
on Economic, Social and Cultural Rights[43] pada tahun 1966.
Kemudian pada tahun 1986, muncul pula
konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk
pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk
pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku
bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian
dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain
meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk
menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari
perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi
pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah
yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi
Ketiga.
Namun demikian, ketiga generasi konsepsi
hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai
karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang
bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara. Setiap
pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai
ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam
pengertian political crime (kejahatan politik)
sebagai lawan dari pengertian crime against
government
(kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran
perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap
rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang,
sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan
berubah makin kompleks sifatnya.
Persoalan hak asasi manusia tidak cukup
hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi
mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antar
kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar
satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara
lain.
Konsepsi baru inilah yang saya sebut sebagai
konsepsi hak asasi manusia Generasi Keempat seperti telah saya uraikan
sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan sebagai alternatif, menurut pendapat
saya, konsepsi hak asasi manusia yang terakhir inilah yang justru tepat disebut
sebagai Konsepsi HAM Generasi Kedua,
karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari
konsepsi-konsep HAM sebelumnya. Sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Pertama
bersifat vertikal, sedangkan sifat hubungan kekuasaan dalam
konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian, pengertian
konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup dipahami
sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi generasi pertama.[44]
Menjelang berakhirnya abad ke-20, kita
menyaksikan munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah ada ataupun
kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelumnya. Pertama, kita
menyaksikan munculnya fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala besar
dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National
Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corporations
(TNC’s) dimana-mana di dunia.
Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah
wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan
negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak di dunia.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusahaan-perusahaan besar ini, yang lebih
merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh
kekuasaan modal yang ada di balik perusahaan besar itu terhadap kepentingan
konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan kekuasaan
yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan
konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan
konsumen tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus
dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang
sebagai bagian yang penting dari pengertian kita tentang hak asasi manusia.
Kedua, abad ke-20 juga telah memunculkan
fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi
yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang
tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa
Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena
masalah-masalah politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka. Persoalan
status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang terpaksa berada di mana-mana
tersebut, secara formal memang dapat diatasi menurut ketentuan hukum yang
lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan menetap di Turki
tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang hidup di
negara-negara lain dapat menikmati status keawarganegaraan di negara mana
mereka hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta
terpecahkan karena pengaturan hukum secara formal tersebut.
Ketiga,
dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas, mulai
penghujung abad ke-20 telah pula berkembang suatu lapisan sosial tertentu
dalam setiap masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan
internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Mereka ini mula-mula
berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps diplomatik yang
membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini berikut
keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang
berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, terbentuk suatu jaringan
pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial tersendiri
yang terpisah dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sebagai contoh, di
setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang bebas pajak, yang
secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbelanja. Semua ini
memperkuat kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang mendorong
munculnya kehidupan baru di kalangan sesama diplomat.
Bersamaan dengan itu, di kalangan para
pengusaha asing yang menanamkan modal sebagai investor usaha di berbagai
negara, juga terbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri seperti halnya
kalangan korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di antara para pekerja
ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri, berpindah-pindah
dari satu negara ke negara lain, yang jangkauan pergaulan mereka lebih cocok
untuk menyatu dengan dunia kalangan diplomat seperti tersebut di atas, daripada
bergaul dengan penduduk asli dari negara-negara tempat mereka bekerja ataupun
berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan diplomatik
inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun secara
resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka sangat
dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizens yang bebas bergerak ke
mana-mana di seluruh dunia.
Keempat, dalam berbagai literatur mengenai corporatisme negara, terutama di beberapa
negara yang menerapkan prosedur federal arrangement, dikenal adanya konsep
corporate federalism sebagai sistem yang
mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras
tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk. Pembagian kelompok English speaking
community dan French speaking
community di
Kanada, kelompok Dutch speaking
community dan German speaking
community di
Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar
parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas.
Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu
entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan
karena itu berhak atas representasi yang demokratis dalam institusi parlemen.
Pengaturan entitas yang bersifat otonom ini, diperlukan seakan-akan sebagai
suatu daerah otonom ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat
tersendiri, meskipun komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu
teritorial tertentu. Karena itu, pengaturan demikian ini biasa disebut dengan corporate federalism.
Keempat fenomena yang bersifat sosio-kultural
tersebut di atas dapat dikatakan bersifat sangat khusus dan membangkitkan
kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang kita warisi dari masa lalu,
tetapi sekaligus menimbulkan persoalan mengenai kesadaran kebangsaan umat
manusia yang selama ini secara resmi dibatasi oleh batas-batas teoritorial satu
negara. Sekarang, zaman sudah berubah. Kita memasuki era globalisasi, di mana
ikatan batas-batas negara yang bersifat formal itu berkembang makin longgar. Di
samping ikatan-ikatan hukum kewarganegaraan yang bersifat formal tersebut,
kesadaran akan identitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor historis kultural
juga harus turut dipertimbangkan dalam memahami fenomena hubungan-hubungan kemanusiaan
di masa mendatang. Oleh karena itu, dimensi-dimensi hak asasi manusia di zaman
sekarang dan apalagi nanti juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
perubahan corak-corak pengertian dalam pola-pola hubungan yang baru itu.
Dengan perkataan lain, hubungan-hubungan
kekuasaan di zaman sekarang dan nanti, selain dapat dilihat dalam konteks yang
bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu antara pemerintah dan rakyatnya,
juga dapat dilihat dalam konteks hubungan yang bersifat horizontal sebagaimana
telah diuraikan pada bagian pertama tulisan ini. Konteks hubungan yang bersifat
horizontal itu dapat terjadi antar kelompok masyarakat dalam satu negara dan
antara kelompok masyarakat antar negara. Di zaman industri sekarang ini, corak
hubungan yang bersifat horizontal tersebut untuk mudahnya dapat dilihat sebagai
proses produksi dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu mencakup pula pengertian
produksi dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, dimana setiap
kebijakan pemerintahan dapat disebut sebagai produk yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang merupakan produsen, sedangkan rakyat banyak merupakan pihak
yang mengkonsumsinya atau konsumennya. Demikian pula setiap perusahaan adalah
produsen, sedangkan produk dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat
konsumennya. Dengan perkataan lain, hak konsumen dalam arti yang luas ini dapat disebut
sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari
kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewenang-wenang dalam
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya.
Perkembangan konsepsi yang terakhir ini dapat disebut sebagai perkembangan
konsepsi hak asasi manusia generasi
kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai struktur
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang memiliki
segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang
terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak
adil. Kita semua harus menyadari perubahan struktur hubungan kekuasaan ini,
sehingga tidak hanya terpaku pada kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia dalam pengertian konvensional saja. Hanya dengan menyadari perubahan
ini kita dapat menawarkan pemecahan dalam perjuangan kolektif untuk menegakkan
dan memajukan hak asasi manusia di masa yang akan datang.
C. Kewajiban Perlindungan dan
Pemajuan HAM
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama
dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara,
baik terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai
konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban
utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita
lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia
sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya,
negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban
negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 28I ayat (4) UUD
1945[45] menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan
horisontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor
pelanggarnya. Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya
tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab
korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan
masyarakat. Keberadaan perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam
kehidupan masyarakat yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi
manusia.
Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak
terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan
dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih
luas struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga
memiliki potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang
terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak
adil.
Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola
relasi kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan
aktor pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun
korporasi. Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab
perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal
ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility
of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect
Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”[46]
pada tahun 1998.
Kewajiban dan tanggungjawab tersebut menjadi semakin penting mengingat
masalah utama yang dihadapi umat manusia bukan lagi sekedar kejahatan
kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi
umat manusia saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan
keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai akibat eksploitasi
atau paling tidak ketidakpedulian sisi dunia lain yang mengenyam kekayaan dan
kemajuan. Kewajiban dan tanggungjawab korporasi dalam bentuk Corporate Social Responsibility terutama
dalam Community Development, tidak
seharusnya sekedar dimaknai sebagai upaya membangun citra. Kewajiban dan
tanggungjawab tersebut lahir karena komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut
juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun
tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Tanpa peran serta korporasi, upaya menciptakan dunia yang lebih baik, dunia
yang bebas dari kelaparan dan keterbelakangan akan sulit dilakukan mengingat
kekuasaan korporasi yang sering kali melebihi kemampuan suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________,
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Ferejohn,
John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge
University Press, 2001.
Fukuyama,
Francis. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan
dan Tata Dunia Abad 21. Judul Asli: State
Building: Governance and World Order in the 21st Century.
Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Giddens,
Anthony. The Constitution of Society:
Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration.
Penerjemah: Adi Loka Sujono. Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003.
Huntington,
Samuel P. The Third Wave: Democratization
in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Republik
Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan
MPR Tahun 1960 s/d 2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002.
Sabine,
George H. A History of Political Theory.
Third Edition. New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London: Holt, Rinehart
and Winston, 1961.
Suseno,
Franz Magnis. Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1999.
[1] Materi yang disampaikan
dalam studium general pada acara The
1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember
2005.
[2] Ketua Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia
dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[3] Pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Lembaran
Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886.
[4] Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT Gramedia
Pustaka Utama, 1999), hal. 30 – 66.
[5] Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak
sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J.
Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third
Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and
Winston, 1961), hal. 517 – 596.
[6] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,
Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 152-162.
[7] Ibid.
[8] Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.
[9] Ayat (2) ini berasal dari
Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.
[10] Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.
[11] Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.
[12] Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.
[13] Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.
[14] Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua.
[15] Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.
[16] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G ayat (1) Perubahan Kedua.
[17] Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.
[18] Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.
[19] Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.
[20] Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.
[21] Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.
[22] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.
[23] Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.
[24] Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua.
[25] Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.
[26] Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.
[27] Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang perumusannya
mengundang kontroversi di kalangan banyak pihak. Disini perumusannya dibalik
dengan subjek negara.
[28] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika
perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan
warga negara.
[29] Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP
No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1
butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini,
yaitu: “...serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan
dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengurangi
kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata
sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain.
Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam
urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah
urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain).
Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham
keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari
kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[30] Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.
[31] Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perkataan
“...memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk memajukan, menegakkan, dan melindungi....”
[32] Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan undang-undang.
Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.
[33] Berasal dari Pasal 28J
Perubahan Kedua.
[34] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan sistematika
perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan
warga negara.
[35]
123 Ini adalah ayat tambahan
yang diambil dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD
1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif
4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi,
khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “... serta melindungi
penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”,
sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk
menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa
juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap
tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam
paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain
masyarakat sendiri (public domain).
Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham
keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari
kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[36] Lihat Samuel P.
Huntington, The Third Wave:
Democratization in the Late Twentieth Century, (Norman; University of
Oklahoma Press, 1991).
[37] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
(Jakarta;
Konstitusi Press, 2005), hal. 209-228.
[38] Dalam kehidupan sosial
terdapat tiga wilayah kekuasaan, yaitu negara (state), masyarakat sipil (civil
society), dan pasar (market).
Ketiga wilayah kekuasaan tersebut idealnya saling berhubungan secara seimbang
tanpa adanya dominasi dari salah satu pihak. Lihat, Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia, op cit., hal. 81.
Namun kondisi sosial menunjukkan tarik-menarik antara ketiga wilayah kekuasaan
tersebut terjadi hingga terjadi dominasi oleh salah satu wilayah kekuasaan.
Lihat, Anthony Giddens, The Constitution
of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of
the Theory of Structuration, Penerjemah: Adi Loka Sujono, (Pasuruan;
Penerbit Pedati, 2003). Bandingkan dengan Francis Fukuyama, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan
Tata Dunia Abad 21, Judul Asli: State
Building: Governance and World Order in the 21st Century,
Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2005).
[39] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
op cit, hal. 211-212.
[40] Ibid.
[41] Ditetapkan oleh Majelis
Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.
[42] Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966.
[43] Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16
Desember 1966.
[44] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara
dan Pilar-Pilar Demokrasi, op. cit, hal.
220-222.
[45] Hasil Perubahan Kedua UUD 1945.
[46] Diadopsi oleh Majelis Umum
PBB pada tanggal 9 Desember 1998 dengan Resolusi 53/144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar