TAFSIR AHKAM
Surat al-
Baqarah ayat 178-179
Mengenai hukum
Qishas
oleh
Muhammad Hadidi
A.ayat178-179
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي
الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء
إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ
اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ
الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
B. Artinya:
178. Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.
Penjelasan: Qishaash ialah mengambil
pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat
kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi)
yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak
yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya
tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan
menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si
pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan
di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
179. Dan dalam qishaash
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa.
B. kosakata
1. كتب : Imam Al-Farro berpendapat bahwa lafadz “كتب عليكم”yang terdapat di dalam Al-Qur’an memiliki arti yang sama dengan lafadz“فرضعليكم”
2.القصاص:persamaan
sanksi dengan perbuatan terpidana
3.عفي:memaafkan,membatalkan
4. أولوا الألباب
: al-albab adalah bentuk jamak dari “لب” lubb yaitu
sari pati sesuatu. Kacang misalnya- memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi
kacang dinamai lubb. Ulu al-albab adalah orang orang yang memiliki akal yang
murni yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat
melahirkan kerancuan dalam cara berfikir.
C.AnalisaSastra
1. Lafadz “في” pada kalimat “في
القتلى” menunjukkan arti sababiyyah, sehingga ayat diatas jika diartikan:
diwajibkan atas kalian menegakkan qishas sebab terjadinya pembunuhan.( في ) yang
memiliki makna sababiyyah juga dapat ditemukan dalam hadis, sebagaimana sabda
Nabi Muhammad.
“دخلت امرأة النار في هرة” yang jika diartikan: “seorang wanita dimasukkan kedalam neraka sebab –bertindaksemena-menapada-kucing”.
“دخلت امرأة النار في هرة” yang jika diartikan: “seorang wanita dimasukkan kedalam neraka sebab –bertindaksemena-menapada-kucing”.
2. Ayat diatas
diawali dengan kalimat (الذين آمَنُواْ) bertujuan untuk menguatkan makna yang menekankan pada seruan
menegakkan praktek qishas yang telah disyari’at kan oleh Dzat yang Maha
Mengetahui hati hamba-hamba-Nya, karena ketika pondasi keimanan seseorang
berada taraf as-sidq maka itu akan mendorongnya untuk menegakkan syari’at Allah
agar terciptanya rasa aman dan ketenangan.
3. Ayat diatas
meski dengan susunan kata yang sangat ringkas tetapi dapat menjelaskan hikmah
qishas dengan makna yang sangat dalam, oleh karna itu ayat ini sangat populer
di kalangan para pakar ilmu bayan dengan sebutan “ayat yang paling baligh
diantara ayat-ayat alqur’an yang lain”.
4. Sisi
keindahan sastrawi dalam ayat ini tercermin pula pada pemilihan kata “القصاص” yang memiliki
arti “الإماتة” yang mana terkandung di dalamnya makna lafaz yang justru merupakan
antonim dari lafadz “الحياة”
5. Lafaz “القصاص” dengan
menggunakan bentuk makrifat, sementara lafazh “حياة” justru
menggunakan bentuk nakirohnya, hal itu tiada lain untuk menujukkan bahwa pada
jenis hukuman ini (qishas)terdapat kehidupan yang amat mulya yang tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata.
6. Dikalangan
bangsa arab jahiliyyah telah masyhur sebuah ungkapan yang menunjukkan arti yang
sama dengan ayat diatas, yaitu kalimat “القتل أنفى للقتل”. Hanya saja menurut para ulama setelah meninjau dari sisi balaghah
tetap saja ungkapan tersebut tidak dapat menandingi ayat di atas, dalam hal ini
Ar-razi dalam tafsirnya mengungkapkan sisi-sisi keistimewaan yang tidak dapat
ditandingi oleh kalimatarabsebagaimana berikut:
1) Susunan
kalimat “في القصاص حياة”
sangat
ringkas jika dibandingkan dengan kalimat “القتل أنفى للقتل”, karna jumlah huruf nya yang sedikit.
2) Ungkapan
orang arab secara zhohirnya menunjukkan: adanya suatu aktivitas yang justru
menyebabkan tiadanya aktifitas tersebut,dan
hal ini tidaklah logis.
3) Pada kalimat
“القتل أنفى
للقتل” terdapat pengulangan kata, yaitu lafaz “القتل”, yang mana hal
ini tidak terjadi pada susunan kalimat sebagaimana ayat diatas.
4) Pada kalimat
“القتل
أنفى للقتل” hanya menunjukkan arti tindakan prefentif dari pembunuhan,
sedangkan kalimat yang ada pada ayat diatas lebih luas cakupannya, baik pada
kasus pembunuhan maupun tindakan yang merugikan pada anggota tubuh (جرح).
5) Pembunuhan
secara aniaya (sebagaimana praktek yang terjadi pada masa jahilyyah)adalah
bentuk pembunuhan dan tidaklah meniadakan pembunuhan, justru itu menjadi cikal
bakal pembunuhan yang lebihluasdan berantai.
7. Ayat di atas
secara implisit menunjukkan bahwa tujuan pelaksanaan qishas dan nilai luhur
yang terkandung dari pensyariatan hukum qishas hanya dapat dicerna dan dipahami
oleh orang-orang yang memiliki akal yang lurus dan sehat , itulah mengapa Allah
menggunakan kata “يا
أولي الألباب”sebagai khitob.
D. asbabun nuzul Turunnya Ayat
Diriwayatkan dari Qotadah r.a. bahwa kaum jahiliyyah pada saat itu
selalu berbuat kelaliman dan tunduk pada syaitan. yang dapat bertahan hidup
ialah mereka yang memiliki kekuatan, sehingga sewaktu hamba sahaya mereka
dibunuh oleh hamba sahaya orang lain. Dengan sombongnya mereka berkata: “kami
tak akan membunuhnya (sebagai balasan) kecuali orang yang merdeka”, kemudian di
saat seorang perempuan dibunuh oleh perempuan yang lain, mereka mengatakan:
“kami tak akan membunuhnya (sebagai balasan) kecuali lelaki diantara kalian”.
Kemudian turunlah ayat: “الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى ”
E. Makna Secara Umum
Allah swt. Memulai uraian-Nya dalam ayat ini dengan menyeru kaum
beriman: hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash. Ini
diwajibkan kalau kamu –wahai keluarga terbunuh- menghendakinya sebagai sanksi
akibat pembunuhan tidak sah atas keluarga kalian. Tetapi, pembalasan itu harus
melalui yang berwenang dengan ketetapan bahwa, orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.Tetapi kalau keluarga
teraniaya ingin memaafkan dengan menggugurkan sanksi itu, dan menggantikannya
dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan.
Sanksi atas pembunuhan sebelum datangnya islam sangatlah beragam,
dalam ajaran yahudi terdapat Qishos, ajaran nasrani berupa diyat, sedangkan
hukum adat yang berlaku di kaum arab jahili yaitu dengan menuntut balas, baik
dengan membunuh selain pelaku, atau kepala sukunya, atau menuntut balas
terhadap dua atau banyak orang kalau yang terbunuh secara tidak sah hanya
seorang, atau perempuan dengan lelaki, dan hamba sahaya dengan orang yang
merdeka.
Kemudian datanglah Islam dengan menetapkan standar keadilan dan
persamaan dalam sanksi pidana kasus pembunuhan. hal itu sebagai perwujudan
tindakan prefentif dari melakukan pembunuhan, yang mana hal itu tak cukup
dengan sanksi pidana yang berlaku pada dewasa ini, karna hukuman penjara
umumnya tidak sampai membuat jera para pelaku pidana pembunuhan untuk tidak
melakukan pembunuhan kembali.
Dari sini jelaslah bahwa syari’at Allah ialah yang paling adil,
benar dan juga mengandung mutiara hikmah, karna Allah maha mengetahui hal mana
yang lebih maslahat bagi umat manusia.
Dalam ayat ini islam telah mengurangi praktek pembalasan dendam
secara kejam. Pembalasan dendam yang kejam seperti yang dipraktekkan pada masa
Jahiliyyah dan juga yang dilakukan pada masa kini oleh masyarakat modern yang
beradab dengan sedikit modifikasi bentuk. Persamaan dalam pembalasan ditetapkan
dengan masa keadilan yang ketat, tetapi memberi peluang memberi profisi yang
jelas bagi kasih sayang dan sikap memaafkan.
F. Kajian Komprehensif
Dalam sub bahasan ini penulis sengaja tidak mengikuti pakem yang
terdapat dalam kitab-kitab tafsir ayat ahkam, yang lebih fokus pada penggalian
hukum oleh berbagai mujtahid mazhab serta perbedaan-perbedaan yang munculnya
didalamnya. Lebih dari itu, penulis akan mencoba memaparkan hal-hal yang
berkaitan dengan kajian ini, tidak hanya dari sisi penggalian hukum saja,
melainkan mencakup pula aspek history, dan perbandingan. Agar lebih sistematis
berikut ini beberapa poin yang akan dikaji dalam sub bahasan ini:
I. Qishas dalam kitab-kitab samawi
II. Qishas pada masa pra islam
III. Qishas dalam islam
IV. Pro & kontra
V. Dampak Revolusi Prancis
I. Qishas dalam kitab-kitab samawi
Dalam kitab taurat (safar al-khuruj) disebutkan “barang siapa yang
memukul seseorang kemudian ia mati maka pelaku wajib dibunuh”, dan disebutkan
pula “ bahwa keluarga dari pihak korban memiliki hak untuk melakukan qishas
kepada pelaku tatkala bertemu, dan tidak diperkenankan mengambil fidyah sebagai
permohonan maaf pelaku, melainkan ia wajib dibunuh”.
Dari sini dapat difahami bahwa penerapan hukum qishas juga berlaku
pada syari’at taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as.
Sementara itu ada beberapa perbedaan mengenai pemberlakuan hukuman
mati dalam syari’at agama nasrani, Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam
syariat agama nasrani mengenal pula istilah hukuman mati, hal ini berlandaskan
dengan ucapan Nabi Isa as. “ saya datang bukanlah untuk mempertentangkan kitab
taurat melainkan untuk menyempurnakannya”.
Sedangkan menurut sebagian yang lain mengatakan bahwa hukuman mati
tidak termasuk dalam prinsip dasar syari’at mereka. Hal ini berlandaskan dengan
ucapan nabi isa as yang tertera dalam injil matheus “ kalian telah mendengar
bahwa dikatakan ” mata dibalas dengan mata, dan gigi dengan gigi” , adapun saya
berkata pada kalian “janganlah membalas sebuah kejelekan, justru jika ada
seseorang yang menampar pipi kananmu maka berikanlah pipi kirimu”, kalian telah
mendengar bahwasanya dikatakan “cintailah kerabatmu dan bencilah musuhmu”,
adapun saya berwasiat pada kalian “ cintailah musuh dan orang yang membeci
kalian”. Dalam hal ini Abu Zahroh memberikan tanggapan bahwa apa yang terdapat
dalam injil ialah sebatas wasiat untuk memaafkan dalam tindakan kriminal yang
bersifat individu bukan termasuk undang-undang syari’at, yang mana dianjurkan
kepada korban untuk mengikuti wasiatnya jika tidak berkenan maka
undang-undanglah yang diterapkan.
II. Hukuman Mati Pada Masa Pra Islam
Di semenanjung tanah arab sebelum Islam masuk -dengan mereformasi
tatanan hukum yang berlaku- juga mengenal hukuman mati, hanya saja pada
prakteknya lebih mengarah pada kelaliman, barbar dan jauh dari keadilan dan
persamaan. Sayyid sabiq menceritakan bahwa pada masa itu tindak pidana yang
dilakukan oleh individu menjadi tanggung jawab sebuah qobilah, kecuali bilamana
qobilah tersebut telah mengumumkan sebelumnya pada khalayak umum bahwa ia telah
dikeluarkan dari kelompok mereka.
Dampak terbesar dari tatanan hukum tersebut dapat memicu peperangan
antara qobilah dalam sekala besar, padahal jika dirunut kronologisnya hal itu
tak lain berawal dari tindakan perorangan, dus hal ini amat disayangkan
tentunya. Dalam hal ini Abu zahroh mengingatkan bahwa apa yang terjaqdi pada
masa jahiliyah sebenarnya tak jauh berbeda dengan apa yang berlaku pada dewasa
ini. mereka yang mencanangkan penghapusan hukuman mati dengan alasan kehilangan
2 orang lebih berat daripada kehilangan satu orang saja, dan juga karena pelaku
kriminal ialah seorang yang dikategorikan sakit maka yang perlu dilakukan ialah
menyembuhkannya bukan justru membunuhnya, pada hakikatnya mereka hanya melihat
dari sisi pelaku saja tidak pada sisi korban dan masyarakat umumnya yang justru
dengan tidak diberlakukannya sebuah keadilan bisa memicu pergolakan yang lebih
besar dengan kata lain dendam yang terorganisir.
Abu a’la al-maududi menambahkan bahwa kondisi manusia pada masa pra
islam sangat memprioritaskan kehidupan anak-anak qobilah mereka, sehingga jika
terjadi pembunuhan, mereka menuntut pada pihak pelaku untuk memberikan seorang
laki-laki yang masih hidup yang memiliki derajat yang sama dengan korbannya
atau dengan cara membunuh puluhan orang bahkan ratusan sebagai pembalasan
dendam, dari sisi yang lain bilamana si pelaku memiliki derajat yang lebih
tinggi dari korbannya maka mereka memutuskan untuk tidak melakukan hukuman
mati. Beliu juga mentamtsilkan hal ini dengan praktek-praktek yang terjadi pada
dewasa ini, dimana negara-negara maju jika ada dari warganya melakukan tindakan
kriminal pembunuhan terhadap warga negara dari dunia ketiga maka umumnya pelaku
tidak diadili dengan hukuman setimpal (mati).
III. Qishas dalam perspektif hukum islam
a) Ontologi:
Kata qishas berasal dari kata arab “qashasha” berarti memotong,
atau mengikuti jejak buruannya. Dengan arti ini maka kata “qashasha” bermakna
hukum balas dengan hukuman yang setimpal bagi pembunuhan yang dilakuka.
Qishas dalam kaitannya sebagai salah satu bentuk hukuman (uqubah)
dalam islam, maka ada baiknya penulis lampirkan definisi uqubah dan variannya.
Abdul Qodir Audah mendefinisikan uqubah: balasan yang ditetapkan
untuk kemaslahatan umum atas pelanggaran terhadap hokum syariat.
Masih menurut beliau, uqubah dalam qishas ada tiga macam variannya:
1.Al-uqubah al-ashliyah: jenis hukuman yang telah ditetapkan untuk
tindakan kriminal sebagaimana aslinya, semisal Qishas untuk jenis pidana
pembunuhan.
2. Al-uqubah al-badaliyah: jenis hukuman pengganti dari hukuman
yang asli karna adanya penghalang yang bersifat syar’I dalam menerapkan hukuman
yang asli, semisal diyat sebagai pengganti qishas.
3. Al-uqubah at-taba’iyah: jenis hukuman susulan (tambahan) yang
dikenakan kepada pelaku tindak criminal, semisal terhalangnya pembunuh
mendapatkan warisan.
b) Epistimologi:
Dalam Al-qur’an banyak sekali ayat yang membicarakan mengenai
haramnya pembunuhan, diantaranya seperti firman Allah swt:
و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق، ومن قتل مظلوما، فقد
جعلنا لوليه سلطانا فلا يسرف في القتل، إنه كان منصورا.
Sementara itu, kewajiban penerapan hukum qishas telah ditetapkan
dalam syariat islam baik dalam al-kitab, Sunah dan Ijmak.
1) Al-kitab: sebagaimana termaktub dalam Surat Al-Baqarah Ayat
178-179, dan juga ayat yang telah disebutkan diatas yang mana kata “سلطانا” ditafsirkan oleh para ulama dengan makna “القود”, yakni sama dengan makna al-qishas.
2) Sunah: Dalam hadis diterangkan pula mengenai wajibnya penegakan
hukum qishas untuk jenis pembunuhan yang disengaja:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “العمد قود، إلا أن يعفو ولي
المقتول” أي أن القتل العمد يوجب القود (أي القصاص) إلا عند العفو.
3) Ijmak: ulama sepakat bahwa orang yang membunuh orang lain secara
licik atau hirabah, kemudian wali orang yang terbunuh merelakan pembunuhnya
dibunuh, maka darah pembunuh itu halal. Dan Tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan umat islam, bahwa kisas hanya wajib dalam masalah pembunuhan yang
disengaja.
Berkaitan dengan fokus kajian pembahasan kali ini yang sedari awal
memang tertuju pada interpretasi Qs. Al-Baqarah: 178-179, maka dirasa perlu
untuk melampirkan perbedaan-perbedaan dari berbagai mazhab dalam istinbath
ahkam dari ayat tersebut. Diantara permasalahan yang diperselisihkan oleh para
mujtahid mazhab ialah mengenai apakah seorang yang merdeka diqishas sebab membunuh
hamba sahaya, Atau tidak? Apakah seorang muslim wajib diqishas lantaran ia
membunuh seorang kafir?.
Dalam menjawab kedua pertanyaan ini, dapat dipahami secara jelas
dengan mengetahui istidlal dan hujjah dari masing-masing mujtahid mazhab yang
mana perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok:
1. Mazhab Hanafi:
1) Hukum: dalam permasalahan pembunuhan yang disengaja mereka
menyatakan wajib diterapkan qishas.
2) Hujjah: pada ayat “كتب عليكم القصاص في القتلى”
mengandung sebuah hukum, yaitu wajibnya penegakan qishas, yang mana itu hanya
tertuju pada penghilangan jiwa seseorang dan tidak memasukkan pada tindakan
melukai/menghilangkan anggota tubuh seseorang yang tidak sampai merenggut
nyawanya. Dan tersirat pula dari ayat tersebut pemberlakuan hukum qishas bagi
orang merdeka sebab membunuh hamba sahaya, karna ayat tersebut tidaklah
membedakan apakah status hamba sahaya sebagai korban atau justru pelaku. Dus,
hamba sahaya juga termasuk objek yang dimaksud dari ayat ini.
Al-jasshos menambahkan bahwa lafadz maqtul (korban pembunuhan) dari
ayat diatas ialah termasuk kategori lafadz yang umum sehingga mencakup hamba
sahaya, kafir dzimmi, merdeka dan muslim. Sedangkan lafadz qotil termasuk
kategori lafadz yang khusus yaitu bagi setiap jenis pembunuhan yang disengaja.
Adapun lafadz (الحر بالحر)
hanyalah berfungsi sebagai taukid atas diwajibkannya penerapan qishas bagi
pelaku. dan menjelaskan kronologis serta kondisi di arab pada saat ayat ini
diturunkan.
2. Mazhab Syafi’i & Maliki:
1) Hukum: tidak boleh menerapkan qishas.
2) Hujjah: ayat di atas sejatinya tidaklah berhenti pada lafadz
“كتب
عليكم القصاص في القتلى”,
melainkan berhenti pada lafadz “الأنثى بالأنثى”.
Implikasinya ialah pada ayat ini Allah mewajibkan dalam penerapan qishas adanya
persamaan yang kemudian dijelaskan bentuk persamaan tesebut, yaitu orang
merdeka dengan merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Adapun kasus pembunuhan yang dilakukan oleh muslim kepada kafir
dzimmi itu dapat pula diqiyaskan dengan kasus yang pertama, karna tidak adanya
persamaan dan juga karena letak sisi kurangnya nilai seorang hamba itu
disebabkan oleh sifat kehambaan yang itu merupakan dampak dari kekufuran
sebelumnya. Maka seorang muslim tidaklah diqishas ketika ia membunuh kafir
dzimmi. Dan hal ini juga diperkuat dengan hadis nabi: “لا يقتل مؤمن بكافر، ولا ذو عهد في عهده”.
3. Murojjih (ali as-sayis & as-shobuni):
Dalam permasalahan ini as-sayis diikuti pula oleh as-shobuni
berupaya untuk mentarjih antara kedua perbedaan tersebut, yang mana pada
akhirnya mereka berdua lebih condong kepada pendapatnya mazhab hanafi. Berikut
ini landasan yang mereka pijaki dalam pentarjihan tersebut:
1) Secara logika ada beberapa kelemahan pada metodenya mazhab
syafi’i dalam permasalahan ini, satu sisi mereka mensyaratkan harus adanya
persamaan dalam qishas, tetapi dalam kondisi yang lain yaitu ketika
permasalahannya dikaitkan dengan pembunuhan yang dilakukan oleh wanita kepada
pria mereka justru tidak menerapkan syarat tersebut, sehingga dalam kasus ini
diterapkan qishas meski tidak ada persamaan jenis antara keduanya.
2) Hamba sahaya dan kafir dzimmi keduanya termasuk golongan dar
al-islam sehingga hartanya kafir dzimmi juga memiliki kesamaan dengan harta
orang muslim dari segi kemulyaannya, dan bilamana ada seorang muslim mencuri
harta kafir dzimmi maka wajib dipotong tangannya.
3) Adapun hadis yang menyatakan “لا يقتل مؤمن بكافر، ولا ذو عهد في عهده”
oleh para ulama ushul ditakwil, yang mana pentakwilan yang paling baik menurut
as-sayis ialah: “أي
بالكافر الذي قتل في الجاهلية “.
c) Aksiologi
Disyariatkannya qishas oleh Allah swt tentunya memiliki hikmah di
balik itu yang bisa dirasakan pada saat itu ataupun pada masa mendatang yang
terkadang manusia sejenius apapun dia tidak dapat menyingkap hikmah-hikmah dari
penerapan hokum Allah di muka bumi. Maka tak asing lagi jika di sana-sini kita
mendengar suara-suara sumbang yang berusaha untuk merobek hokum-hukum Allah
dengan alasan tidak lagi relevan dengan kondisi peradaban manusia modern.
Adapun hikmah dari pensyariatan Qishas baik secara khusus maupun
umum sebagai berikut:
1. Khusus (pihak korban/pelaku):
1) Balasan yang setimpal
2) Kelegaan hati pihak keluarga yang mana itu tak dapat terealisasi
jika pelaku hanya mendapatkan hukuman penjara saja yang kemudian bisa bebas
kapan saja dan menghirup udara kembali. Sementara itu kerelaan hati pihak
keluarga merupakan sebuah keniscayaan
3) Pelaku akan berfikir ulang jika ternyata hukuman yang akan
dikenakan padanya adalah nyawanya sendiri.
2. Umum (maslahah ammah)
1) Ditegakkannya nilai keadilan
2) Terciptanya keseimbangan dlm masyarakat
3) Kemaslahatan yang tercipta tidaklah hanya pada satu kondisi
masyarakat, maupun masa tertentu saja, melainkan menyeluruh pada semua aspek
yang mana hal itu tidak dapat terealisasi dengan hukum positif.
IV. Pro & Kontra Hukum Mati
Sebagaimana kita ketahui, qishas yang jika kita artikan sebagai
hukuman mati bagi terpidana maka sudah barang tentu akan kita temukan pula
praktek hukuman mati yang mana hal itu tidak hanya terjadi di Negara muslim
saja. Kendati demikian Ada saja beberapa wacana yang dilontarkan oleh beberapa
pakar, baik pakar hukum positif maupun beberapa filosof yang kaitannya dengan
relevansi penerapan hukum mati atau meniadakannya, dan disertai pula bantahan
ulama kontemporer terhadap pendapat yang menyatakan tidak relevannya hukuman
mati untuk peradaban modern.
a) Pendapat kontra
1. Pembunuhan sebagai hukuman adalah sesuatu yang kejam, yang tidak
berkenan atau tidak wajar bagi manusia beradab.
2. Pembunuhan yang dilakukan terpidana menghilangkan satu nyawa,
tetapi pelaksanaan qishas adalah menghilangkan satu nyawa yang lain.
3. Pembunuhan terhadap si pembunuh menyuburkan balas dendam,
padahal pembalasan dendam merupakan sesuatu yang buruk dan harus dikikis
melalui pendidikan.
4. Si pembunuh sejatinya mengidap sakit jiwa dan sudah semestinya
untuk disembuhkan bukan malah dibunuh.
b) Sanggahan pro hukum mati
1. Hokum mati bisa dikategorikan kejam jika hanya dilihat dari sisi
bentuk hukuman, dan melupakan korbannya yang terbunuh serta keluarga korban
yang ditinggal.
2. Penghilangan satu nyawa yang lain itu memang benar adanya dan
itu yang tampak di permukaan, tetapi yang tidak tampak ialah yang bergejolak di
hati keluarga korban, yaitu menuntut balas yang dapat melampaui batas keadilan,
sehimgga ketika itu, bukan hanya yang lain, tetapi puluhan nyawa yang lain bisa
menjadi korban, dan ketika itu juga akal sehat akan berkata, “dari pada puluhan
korban yang jatuh, cukuplah satu yang melakukan pembunuhan secara tidak hak
itu.
3. Dalih yang ketiga adalah dalih yang baik, tetapi berhasilkah
kemanusiaan mengikis habis dendam yang membara dari jiwa manusia?
4. Jika memang hukuman mati tidak dapat ditegakkan hanya karena
lantaran perbuatan pelaku menunjukkan bahwa dia mengidap sakit jiwa maka dalih
ini sangatlah berbahaya bagi kehidupan masyarakat, karena ia akan mendorong
pembunuhan dengan perisai sakit jiwa. Namun demikian, jika memang itu terbukti
melalui pemeriksaan yang bertanggung jawab maka tentu saja hukuman terhadap
terpidana akan berbeda.
V. Dampak Revolusi Prancis
Sebagaimana kita ketahui, bahwa perjalanan penerapan hukuman mati
dalam lintas sejarah dan agama adalah tetap adanya baik dalam kitab taurat,
nasrani, bangsa eropa maupun umat islam khususnya yang kemudian dalam syari’at agama
ini hokum mati diistilahkan dengan hokum qishas.
Dalam perjalannnya melintasi lebih dari sepuluh abad telah
membentuk peradaban timur yang diwakili oleh peradaban islam telah sampai pada
puncak peradaban yang maju dan seimbang. Namun, tatkala islam mengalami
degradasi di akhir-akhir masa khilafah usmaniyah, sementara itu, Negara-negara
eropa sedang berada pada titik balik untuk mengambil kejayaannya kembali, dan
hal itu ditandai dengan terjadinya revolusi prancis, dan juga penjajahan yang
mereka lakukan di Negara-negara yang berpenduduk muslim, berdampak pula
terhadap penerapan hokum-hukum syari’at secara umum dan hokum qishas secara
khusus yang lambat laun ditinggalkan oleh pemeluknya mulai dari timur tengah
sampai ke Negara khatulistiwa. hal ini tentunya disebabkan oleh gesekan-gesekan
kebudayaan antara negera yang menjajah dengan yang di jajah.
Dampak dari revolusi perancis terutama dalam produk hukum, yang
dalam hal ini ialah peniadaan hukuman mati meluas sampai ke Negara-negara
eropa, semisal Portugal dan belanda. Kemudian pada awal abad ke-20 bertambah
luas lagi dampak tersebut ke beberapa Negara lainnya, semisal italia,
finlandia, jerman barat, dan sebagian wilayah Negara amerika.
G. Penutup
Bagaimanapun kondisi zaman yang telah berubah, pola pikir manusia
semakin kritis, traffic informasi semakin deras lajunya, dan teknologi semakin
menentukan dalam segala aspek kehidupan. sehingga tak jarang perlunya diadakan
kajian-kajian ulang dalam sebuah keputusan hukum. Hanya saja tidaklah arif jika
kita mengakui sebagai seorang muslim yang hidup di abad yang serba modernis
ini, di sisi lain kita mengklaim bahwa hukum qishas tidak lagi relevan bahkan
menganggap ayat-ayat semacam itu hanyalah ayat produk budaya saja yang akan
dengan sendirinya hilang jika kebudayaan manusia telah mengalami perubahan.
Bukankah dalam syari’at melarang keras men-ta’thil-kan satu ayatpun dari
Alqur’an.Wallahu a’lam bis showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar