Oleh Muhammad Hadidi meraih mimpi
Ketika
Mu'awiyah ibn Abi Sufyan
menggantikan Khalifah IV,
Ali
ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat
kepada salah
seorang
sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu'bah
menanyakan,
"Apakah doa
yang dibaca Nabi
setiap selesai shalat?" Ia
memperoleh
jawaban bahwa doa beliau adalah,
"Tiada
Tuhan selain Allah, tiada
sekutu bagi-Nya. Wahai
Allah
tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri,
tidak
juga ada yang mampu memberi apa yang
Engkau halangi,
tidak
berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber
dari-Mu
(HR Bukhari).
Doa
ini dipopulerkannya untuk memberi kesan
bahwa segala
sesuatu telah
ditentukan Allah, dan
tiada usaha manusia
sedikit
pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini,
dinilai oleh
banyak pakar sebagai "bertujuan politis,"
karena dengan doa
itu
para penguasa Dinasti Umayah
melegitimasi kesewenangan
pemerintahan mereka,
sebagai kehendak Allah. Begitu
tulis
Abdul
Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam
Al-Tafkir
Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).
Tentu saja,
pandangan tersebut tidak
diterima oleh
kebanyakan
ulama. Ada
yang demikian menggebu
menolaknya
sehingga
secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataan
la
qadar (tidak ada takdir). Manusia bebas
melakukan apa
saja, bukankah
Allah telah menganugerahkan
kepada manusia
kebebasan
memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum
kalau dia
tidak memiliki kebebasan
itu? Bukankah Allah
sendiri
menegaskan,
"Siapa
yang hendak beriman
silakan beriman, siapa yang
hendak
kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29).
Masing-masing bertanggung jawab
pada perbuatannya
sendiri-sendiri. Namun
demikian, pandangan ini
juga
disanggah. Ini
mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah.
Bukankah
Allah Mahakuasa? Bukankah
"Allah
menciptakan kamu dan apa
yang kamu lakukan"
(QS
Al-Shaffat
[37]: 96).
Tidakkah ayat
ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang
kita
lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnya
bukankah
Al-Quran menegaskan bahwa,
"Apa yang
kamu kehendaki, (tidak
dapatterlaksana) kecuali
dengan
kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30).
Demikian
sedikit dari banyak perdebatan yang
tak kunjung
habis di
antara para teolog.
Masing-masing menjadikan
Al-Quran
sebagai pegangannya, seperti
banyak orang yang
mencintai
si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.
Kemudian didukung
oleh penguasa yang ingin
mempertahankan
kedudukannya,
dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalam
berbagai bidang, meluaslah paham takdir dalam arti
kedua di
atas,
atau paling tidak, paham yang mirip dengannya
Yang
jelas, Nabi dan sahabat-sahabat utama
beliau, tidak
pernah mempersoalkan takdir sebagaimana dilakukan
oleh para
teolog
itu. Mereka sepenuhnya yakin tentang
takdir Allah
yang menyentuh
semua makhluk termasuk
manusia, tetapi
sedikit pun
keyakinan ini tidak
menghalangi mereka
menyingsingkan lengan
baju, berjuang, dan
kalau kalah
sedikit
pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada
Allah.
Sikap Nabi
dan para sahabat tersebut lahir,
karena mereka
tidak
memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial: ayat demi
ayat, atau
sepotong-sepotong terlepas dari
konteksnya,
tetapi
memahaminya secara utuh, sebagaimana
diajarkan oleh
Rasulullah
Saw.
Takdir
dalam Bahasa Al-Quran
Kata
takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari
akar kata qadara yang antara lain berarti
mengukur, memberi
kadar
atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah
menakdirkan demikian," maka
itu berarti, "Allah
telah
memberi
kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat,
atau
kemampuan
maksimal makhluk-Nya."
Dari sekian
banyak ayat Al-Quran
dipahami bahwa semua
makhluk
telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka
tidak
dapat
melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. menuntun
dan
menunjukkan mereka arah yang seharusnya
mereka tuju.
Begitu dipahami
antara lain dari ayat-ayat permulaan Surat
Al-A'la
(Sabihisma),
"Sucikanlah
nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan
(semua mahluk)
dan menyempurnakannya, yang
memberi takdir
kemudian
mengarahkan(nya)" (QS Al-A'la [87]: 1-3).
Karena
itu ditegaskannya bahwa:
"Dan
matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah
takdir yang
ditentukan oleh (Allah) Yang
Mahaperkasa lagi
Maha
Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38).
Demikian
pula bulan, seperti firman-Nya
sesudah ayat di
atas:
"Dan telah
Kami takdirkan/tetapkan bagi
bulan
manzilah-manzilah,
sehingga (setelah dia sampai ke manzilah
yang terakhir)
kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang
tua"
(QS Ya Sin [36]: 39)
Bahkan segala
sesuatu ada takdir
atau ketetapan Tuhan
atasnya,
"Dia (Allah)
Yang menciptakan segala
sesuatu, lalu Dia
menetapkan atasnya
qadar (ketetapan) dengan
sesempurna-sempurnanya"
(QS Al-Furqan [25]: 2).
"Dan tidak
ada sesuatu pun
kecuali pada sisi
Kamilah
khazanah
(sumber)nya; dan Kami tidak
menurunkannya kecuali
dengan
ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21).
Makhluk-Nya yang
kecil dan remeh
pun diberi-Nya takdir.
Lanjutan ayat
Sabihisma yang dikutip
di atas menyebut
contoh,
yakni rerumputan.
"Dia Allah
yang menjadikan rumput-rumputan, lalu
dijadikannya
rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS
Sabihisma
[87]: 4-53)
Mengapa rerumputan
itu tumbuh subur, dan mengapa pula ia
layu
dan kering. Berapa kadar kesuburan
dan kekeringannya,
kesemuanya telah
ditetapkan oleh Allah
Swt., melalui
hukum-hukum-Nya
yang berlaku pada alam raya ini. Ini berarti
jika Anda
ingin melihat rumput
subur menghijau, maka
siramilah ia,
dan bila Anda
membiarkannya tanpa
pemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik, maka pasti
ia akan
mati kering kehitam-hitaman atau
ghutsan ahwa
seperti
bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau
seluruh
makhluk-Nya. Walhasil,
"Allah
telah menetapkan bagi segala
sesuatu kadarnya" (QS
Al-Thalaq
[65]: 3)
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi
kejadiannya,
dalam kadar atau ukuran tertentu,
pada tempat
dan waktu
tertentu, dan itulah yang disebut
takdir. Tidak
ada
sesuatu yang terjadi tanpa takdir,
termasuk manusia.
Peristiwa-peristiwa tersebut
berada dalam pengetahuan dan
ketentuan
Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat
disimpulkan dalam
istilah sunnatullah, atau
yang sering
secara
salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."
Penulis
tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah
dengan takdir.
Karena sunnatullah yang
digunakan oleh
Al-Quran
adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang
pasti berlaku
bagi masyarakat,
sedang takdir mencakup
hukum-hukum
kemasyarakatan dan
hukum-hukum alam. Dalam
Al-Quran
"sunnatullah" terulang
sebanyak delapan kali, "sunnatina"
sekali,
"sunnatul awwalin" terulang
tiga kali; kesemuanya
mengacu kepada
hukum-hukum Tuhan yang
berlaku pada
masyarakat.
Baca misalnya QS Al-Ahzab (33):
38, 62 atau
Fathir
35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain.
Matahari, bulan,
dan seluruh jagat raya telah ditetapkan
oleh
Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar,
"Datanglah
(hai langit dan bumi) menurut
perintah-Ku, suka
atau tidak
suka!" Keduanya berkata,
"Kami datang dengar
penuh
ketaatan."
Demikian surat Fushshilat
(41) ayat 11
melukiskan
"keniscayaan
takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."
Apakah demikian
juga yang berlaku bagi manusia?
Tampaknya
tidak
sepenuhnya sama.
Manusia
mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan
ukuran
yang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini,
misalnya,
tidak
dapat terbang. Ini merupakan salah
satu ukuran atau
batas
kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak
mampu
melampauinya, kecuali jika
ia menggunakan akalnya
untuk menciptakan
satu alat, namun akalnya pun,
mempunyai
ukuran
yang tidak mampu dilampaui. Di sisi
lain, manusia
berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala
yang kita
lakukan
pun tidak terlepas
dari hukum-hukum yang
telah
mempunyai kadar
dan ukuran tertentu.
Hanya saja karena
hukum-hukum
tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan
memilih
-tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- maka
kita dapat
memilih yang mana
di antara takdir
yang
ditetapkan Tuhan
terhadap alam yang
kita pilih. Api
ditetapkan
Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan
kesejukan atau
dingin; itu takdir
Tuhan -manusia boleh
memilih
api yang membakar atau angin yang sejuk. Di
sinilah
pentingnya pengetahuan
dan perlunya ilham
atau petunjuk
Ilahi.
Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah:
"Wahai
Allah, jangan engkau biarkan
aku sendiri (dengan
pertimbangan
nafsu akalku saja), walau sekejap."
Ketika di
Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya)
terjadi
wabah,
Umar ibn
Al-Khaththab yang ketika
itu bermaksud
berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketika
itu
tampil seorang bertanya:
"Apakah
Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?"
Umar
r.a. menjawab,
"Saya
lari/menghindar dan takdir Tuhan
kepada takdir-Nya
yang
lain."
Demikian
juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar di
satu
tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah
ke tempat
lain. Beberapa
orang di sekelilingnya
bertanya seperti
pertanyaan
di atas. Jawaban Ali ibn Thalib,
sama intinya
dengan jawaban
Khalifah Umar r.a.
Rubuhnya tembok,
berjangkitnya
penyakit adalah berdasarkan
hukum-hukum yang
telah
ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia
akan
menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya
itu juga
adalah takdir,
tetapi bila ia
menghindar dan luput dari
marabahaya maka
itu pun takdir.
Bukankah Tuhan telah
menganugerahkan manusia
kemampuan memilah dan
memilih?
Kemampuan
ini pun
antara lain merupakan
ketetapan atau
takdir yang
dianugerahkan-Nya Jika demikian, manusia tidak
dapat
luput dari takdir, yang
baik maupun buruk.
Tidak
bijaksana jika
hanya yang merugikan
saja yang disebut
takdir, karena
yang positif pun
takdir. Yang demikian
merupakan sikap 'tidak menyucikan Allah, serta
bertentangan
dengan
petunjuk Nabi Saw.,' "... dan
kamu harus percaya
kepada takdir-Nya
yang baik maupun
yang buruk." Dengan
demikian,
menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak
menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa
depannya
sendiri,
sambil memohon bantuan Ilahi
Apakah
Takdir Merupakan Rukun Iman?
Perlu
digarisbawahi bahwa dari sudut pandang studi Al-Quran,
kewajiban mempercayai
adanya takdir tidak secara
otomatis
menyatakannya
sebagai satu di antara rukun iman
yang enam.
Al-Quran tidak
menggunakan istilah "rukun" untuk takdir,
bahkan tidak
juga Nabi Saw.
dalam hadis-hadis beliau.
Memang, dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyak
pakar
hadis, melalui sahabat Nabi Umar
ibn Al-Khaththab,
dinyatakan bahwa
suatu ketika datang
seseorang yang
berpakaian
sangat putih, berambut
hitam teratur, tetapi
tidak tampak pada penampilannya bahwa ia seorang
pendatang,
namun,
"tidak seorang pun
di antara kami
mengenalnya."
Demikian Umar r.a. Dia bertanya tentang Islam, Iman,
Ihsan,
dan
saat kiamat serta tanda-tandanya. Nabi
menjawab antara
lain
dengan menyebut enam perkara iman, yakni percaya kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-
rasulNya,
hari kemudian, dan "percaya tentang takdir-Nya
yang
baik dan yang buruk." Setelah sang penanya pergi, Nabi
menjelaskan
bahwa,
"Dia
itu Jibril, datang untuk mengajar kamu, agama kamu."
Dari hadis
ini, banyak ulama
merumuskan enam rukun Iman
tersebut.
Seperti
dikemukan di atas, Al-Quran tidak
menggunakan kata
rukun, bahkan
Al-Quran tidak pernah menyebut kata takdir
dalam
satu rangkaian ayat yang
berbicara tentang kelima
perkara lain
di atas. Perhatikan
firman-Nya dalam surat
Al-Baqarah
(2): 285,
"Rasul
percaya tentang apa yang diturunkan kepadanya
dari
Tuhannya,
demikian juga orang-orang Mukmin. Semuanya percaya
kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya,
dan hari kemudian."
Dalam
QS Al-Nisa' (4): 136 disebutkan:
"Wahai orang-orang
yang beriman, (tetaplah) percaya kepada
Allah
dan Rasul-Nya, dan kepada kitab yang diturunkan kepada
Rasul-Nya, dan
kitab yang disusunkan sebelum (Al-Quran).
Barangsiapa
yang tidak percaya kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan
hari kemudiam, maka
sesungguhnya
dia telah sesat sejauh-jauhnya."
Bahwa
kedua ayat di atas tidak menyebutkan
perkara takdir,
bukan berarti
bahwa takdir tidak wajib
dipercayai. Tidak!
Yang
ingin
dikemukakan ialah bahwa
Al-Quran tidak
menyebutnya
sebagai rukun, tidak pula merangkaikannya dengan
kelima
perkara lain yang disebut dalam hadis Jibril di atas.
Karena itu, agaknya dapat dimengerti ketika
sementara ulama
tidak
menjadikan takdir sebagai
salah satu rukun
iman,
bahkan
dapat dimengerti jika sementara mereka hanya menyebut
tiga
hal pokok, yaitu keimanan kepada Allah,
malaikat, dan
hari kemudian.
Bagi penganut pendapat ini, keimanan kepada
malaikat
mencakup keimanan tentang apa yang mereka sampaikan
(wahyu
Ilahi), dan kepada siapa disampaikan, yakni para Nabi
dan
Rasul.
Bahkan jika
kita memperhatikan beberapa
hadis Nabi,
seringkali beliau hanya menyebut dua perkara, yaitu
percaya
kepada
Allah dan hari kemudian.
"Siapa
yang percaya kepada Allah dan hari
kemudian, maka
hendaklah ia
menghormati tamunya. Siapa yangpercaya kepada
Allah
dan hari kemudian, maka hendaklah ia
menyambung tali
kerabatnya. Siapa
yang percaya kepada
Allah dan hari
kemudian,
maka hendaklah ia berkata benar atau diam."
Demikian
salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh
Bukhari
dan
Muslim melalui Abu Hurairah.
Al-Quran juga
tidak jarang hanya
menyebut dua di antara
hal-hal
yang wajib dipercayai. Perhatikan
misalnya surat
Al-Baqarah
(2): 62,
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
Nasrani,
Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat
Nabi
zaman dahulu,
atau orang-orang yang menyembah bintang atau
dewa-dewa),
siapa saja di antara mereka
yang benar-benar
beriman kepada
Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh,
maka
mereka akan menerima ganjaran mereka
di sisi Tuhan
mereka, tidak
ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga
mereka
akan bersedih."
Ayat
ini tidak berarti
bahwa yang dituntut
dari semua
kelompok
yang disebut di atas hanyalah iman kepada Allah dan
hari
kemudian, tetapi bersama keduanya
adalah iman kepada
Rasul, kitab
suci, malaikat, dan
takdir. Bahkan ayat
tersebut
dan semacamnya hanya menyebut dua hal pokok, tetapi
tetap menuntut
keimanan menyangkut segala
sesuatu yang
disampaikan
oleh Rasulullah Saw., baik dalam enam
perkara
yang disebut
oleh hadis Jibril
di atas, maupun perkara
lainnya
yang tidak disebutkan.
Demikianlah
pengertian takdir dalam bahasa dan
penggunaan
Al-Quran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar