(VI) Written : by Mohd Hadidi.S.HI |
rn Sebagian wanita muslimah yang tidak berhijab, mengulang-ulang
syubhat yang rnintinya, tidak ada yang disebut hijab secara hakiki, ia
sekedar mode. Maka, jika rnitu hanya mode, kenapa harus dipaksakan untuk
mengenakannya? Mereka lalu rnmenyebutkan beberapa kenyataan serta
penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian rnukhti ber-hijab yang pernah
mereka saksikan. Sebelum membantah syubhat ini, kami rnperlu mengetengahkan,
ada enam macam alasan yang karenanya seorang ukhti rnmengenakan hijab.
rn
Pertama, ia ber-hijab untuk menutupi sebagian cacat tubuh yang
dideritanya. rn
rn
Kedua, ia ber-hijab untuk bisa mendapatkan jodoh. Sebab sebagian
besar rnpemuda, yang taat menjalankan syari'at agama atau tidak, selalu
mengutamakan rnwanita yang berhijab.
rn
Ketiga, ia ber-hijab untuk mengelabui orang lain bahwa dirinya
orang rnbaik-baik. Padahal, sebenarnya ia suka melanggar syarilat Allah.
Dengan rnber-hijab, maka keluarganya akan percaya terhadap kesalihannya,
orang tidak rnragu-ragu tentangnya. Akhirnya, dia bisa bebas ke luar rumah
kapan dan ke mana rndia suka, dan tidak akan ada seorang pun yang
menghalanginya.
rn
Keempat, ia memakai hijab untuk mengikuti mode, hal ini lazim
disebut dengan rn''hijab ala Prancis''. Mode itu biasanya menampakkan
sebagian jalinan rambutnya, rnmemperlihatkan bagian atas dadanya, memakai rok
hingga pertengahan betis, rnmemperlihatkan lekuk tubuhnya. Terkadang memakai
kain yang tipis sekali sehingga rntampak jelas warna kulitnya, kadang-kadang
juga memakai celana panjang. Untuk rnmelengkapi mode tersebut, ia memoles
wajahnya dengan berbagaimacam make up, juga rnmenyemprotkan parfum, sehingga
menebar bau harum pada setiap orang yang rndilaluinya. Dia menolak syariat
Allah, yakni perintah mengenakan hijab. rnSelanjutnya lebih mengutamakan
mode-mode buatan manusia. Seperti Christian Dior, rnValentine, San Lauren,
Canal, Cartier dan merek dari nama-nama orang-orang kafir rnlainnya.
rn
Kelima, ia ber-hijab karena paksaan darikedua orang tuanya yang
mendidiknya rnsecara keras di bidang agama, atau karena melihat keluarganya
semua ber-hijab, rnsehingga ia terpaksa menggunakannya, padahal dalam hatinya
ia tidak suka. Jika rntidak mengenakan, ia takut akan mendapat teror dan
hardikan dari keluarganya. rnGolongan wanita seperti ini, jika tidak melihat
ada orang yang mengawasinya, rnserta merta ia akan melepas hijabnya, sebab ia
tidak percaya dan belum mantap rndengan hijab.
rn
Keenam, ia mengenakan hijab karena mengikuti aturan-aturan
syari'at. Ia rnpercaya bahwa hijab adalah wajib, sehingga ia takut
melepaskannya.Ia berhijab rnhanya karena mengharapkan ridha Allah, tidak
karena makhluk. Wanita ber-hijab rnjenis ini, akan selalu memperhatikan
ketentuan-ketentuan ber-hijab, di rnantaranya:
a. Hijab itu longgar, sehingga tidak membentuk lekuk-lekuk tubuh. rn b. Tebal, hingga tidak kelihatan sedikit pun bagian tubuhnya. c. Tidak rnmemakai wangi-wangian. d. Tidak meniru mode pakaian wanita-wanita kafir, rnsehingga wanita-wanita muslimah memiliki identitas pakaian yang dikenal. e. rnTidak memilih wama kain yang kontras (menyala), sehingga menjadi pusat perhatian rnorang. f. Hendaknya menutupi seluruh tubuh, selain wajah dan kedua telapak rntangan, menurut suatu pendapat, atau menutupi seluruh tubuh dan yang tampak rnhanya mata, menurut pendapat yang lain. g. Hendaknya tidak menyerupai rnpakaian laki-laki, sebab hal tersebut dilarang oleh syara'. h. Tidak memakai rnpakaian yang sedang menjadi mode dengan tujuan pamer misalnya, sehingga ia rnterjerumus kepada sifat membanggakan diri yang dilarang agama.
rn
Selain ber-hijab yang disebutkan terakhir (nomor enam), maka
alasan-alasan rnmengenakan hijab adalah keliru dan bukan karena mengharap
ridha Allah. Ini bukan rnberarti, tidak ada orang yang menginginkan ridha
Allah dalam ber-hijab. rnBer-hijablah sesuai dengan batas-batas yang
ditentukan syari'at, sehingga anda rntermasuk dalam golongan wanita yang
ber-hijab karena mencari ridha Allah dan rntakut akan murkaNya.
rn
I. SYUBHAT KEDELAPAN: MENGHALANGI BERHIAS
rn
Syubhat ini -sebagaimana yang terdahulu- lebih tepat disebut
syahwat daripada rnsyubhat. Ia adalah nafsu buruk, sehingga menghalangi para
wanita ber-hijab. rn
Tetapi wanita yang menurutkan dirinya di belakang nafsu ini. Patut kita rnpertanyakan: ''Untuk siapa engkau pamer aurat? Untuk siapa engkau berhias?'' Jika rnjawabannya: ''Aku memamerkan tubuhku dan bersolek agar semua orang mengetahui rnkecantikan dan kelebihan diriku,'' maka kembali kita perlu bertanya: ''Apakah rnkamu rela, kecantikanmu itu dinikmati oleh orang yang dekat dan yang jauh rndarimu?'' ''Relakah kamu menjadi barang dagangan yang murah, bagi semua orang, rnbaik yang jahat maupun yang terhormat?'' ''Bagaimana engkau bisa menyelamatkan rndirimu dari mata para serigala yang berwujud manusia?''. ''Maukah kamu, jika rndirimu dihargai serendah itu?''
rn
1. Kisah Nyata
Seorang artis terkenal, mengadakan lawatan di salah satu rnnegara teluk, untuk memeriahkan sebuah pesta malam kolosal di negara tersebut. rnBersama grupnya, ia akan menggelar konser spektakuler. Salah seorang wanita rnshalihah menghubungi artis tersebut via telepon. Ia akan melaksanakan tugas amar rnma'ruf nahi munkar. Segera ia mencari nomor telepon kamar di hotel tempat artis rnitu menginap. Setelah menemukannya, ia segera menghubungi.
rn
Selanjutnya tejadilah dialog seperti di bawah ini:
Ukhti: ''kami ucapkan rnselamat atas kedatangan anda di negeri kami. Kami senang sekali atas kehadiran rnanda disini. Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada anda, saya harap rnanda sudi menjawabnya.'' Artis: '' Dengan segala senang hati, silahkan anda rnbertanya!'' Ukhti: ''Jika anda memiliki barang yang berharga, dimana anada akan rnmeletakkannya?'' Artis:''Di tempat yang khusus, aku akan menguncinya sehingga rntidak seorangpun bisa mengambil.'' Ukhti:''Jika sesuatu itu barang yang amat rnberharga sekali, di mana anda akan menyembunyikannya?'' Artis:''Di tempat yang rnsangat khusus, sehingga tak ada satu tangan pun bisa menyentuhnya.'' Ukhti: rn''Apakah sesuatu yang paling berharga yang dimiliki oleh seorang wanita?'' rn Artis : ''(Lama tidak ada jawaban) Ukhti: Bukankah kesucian dirinya rnsesuatu yang paling berharga yang ia miliki?'' Artis : ''Benar….Benar, sesuatu rnyang paling berharga dari milik wanita adalah kesuciannya.'' Ukhti: 'Apakah rnsesuatu yang amat berharga itu boleh dipertontonkan dimuka umum?'' Dari sini rnartis itu mengetahui kemana arah pembicaraan selanjutnya. Ia tercenung beberapa rnsaat, lalu berteriak riang, seakan suara itu dari lubuk fithrahnya. Ia rntersadarkan. Artis: ''Ini sungguh ucapan yang pertama kali kudengar selama rnhidupku. Saya harus bertemu anda, sekarang juga! Saya ingin lebih banyak rnmendengarkan petuah-petuah anda''.
rn
Wahai ukhti, jika engkau menampakkan auratmu dan bersolek demi
suamimu atau rndi depan sesama kaummu maka hal itu tidak mengapal selama
tidqk keluar dari rnrumah. Jika antar sesama wanita, maka hendaknya engkau
tidak menampakkan aurat rnyang tidak boleh dilihat sesama wanita, yakni
antara pusar dengan lutut.
rn
2. Perumpamaan
Saudariku, engkau amat mahal dan berharga sekali. rnPernahkah terlintas dalam benakmu, bagaimana seorang pembeli membolak-balik rnbarang yang ingin dibelinya? Jika ia tertarik dan berniat membelinya, ia akan rnmeminta kepada sang penjual agar ia diambilkan barang baru sejenis yang masih rntersusun di atas rak. Ia ingin agar yang dibelinya adalah barang yang belum rnpemah tersentuh oleh tangan manusia. Renungkanlah perumpamaan ini baik-baik. rnDari sini, engkau akan tahu betapa berharganya dirimu, yakni jika engkau rnmenyembunyikan apa yang harus engkau sembunyikan sesuai dengan perintah Allah rnkepadamu.
rn
J. SYUBHAT KESEMBILAN: HIJAB MENCIPTAKAN PENGANGGURAN SEBAGIAN SDM
DI rnMASYARAKAT
rn
Syubhat ini tidak begitu populer di kalangan wanita tak ber-hijab,
tetapi ia rnamat sering dilontarkan oleh orang-orang sekuler dan para
pendukungnya. Menurut rnmereka, hijab wanita akan menciptakan pengangguran
sebagian dari SDM (Sumber rnDaya Manusia) yang dimiliki oleh masyarakat.
Padahal Islam menyuruh para wanita rnagar tetap tinggal di rumah.
rn
Syubhat yang sering kita dengar ini, dapat kita sanggah dengan
beberapa rnargumentasi:
Pertama, pada dasarnya wanita itu memang harus tetap tinggal di rnrumahnya. Allah berfirman: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah rnkamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah terdahulu.'' rn(Al-Ahzab: 33)Ini bukan berarti melecehkan keberadaan wanita, atau tidak rnmendayagunakan SDM-nya,tetapi hal itu merupakan penempatan yang ideal sesuai rndengan kodrat dan kemampuan wanita.
rn
Kedua, Islam memandang bahwa pendidikan anak, penanaman
nilai-nilai akhlak rndan bimbingan terhadap mereka sebagai suatu kewajiban
wanita yang paling hakiki. rnBerbagai hasil penelitian, yang dikuatkan oleh
data stastitik, baik yang rnberskala internasional maupun nasional
menunjukkan berbagai penyimpangan rnanak-anak muda, faktor utamanya adalah
''broken home'' (keruntuhan rumah tangga) rnserta kurangnya perhatian orang
tua terhadap anak-anaknya.
rn
Ketiga, Islam tidak membebani wanita mencari nafkah. Mencari
nafkah adalah rntugas laki-laki. Karena itu, secara alamiah, yang paling
patut keluar rumah rnuntuk bekeja adalah laki-laki, sehingga wanita bisa
sepenuhnya mengurus rnpekerjaan yang justeru lebih penting daripada jika ia
bekerja di luar rumah, rnyaitu mendidik generasi muda. Dan sungguh, tugas
paling berat dalam masyarakat rnadalah mendidik generasi muda.Sebab,
daripadanya akan lahir tatanan masyarakat rnyang bak.
rn
Keempat, Islam sangat memperhatikan perlindungan terhadap
masyarakat dari rnkehancuran. Pergaulan bebas, (bercampumya laki-laki dengan
perempuan tanpa rnhijab) dan sebagainya menyebabkan lemahnya tatanan
masyarakat serta menjadikan rnwanita korban pelecehan oleh orang-orang yang
lemah jiwanya. Dan dengan rnpergaulan yang serba boleh itu, masing-masing
lawan jenis akan disibukkan oleh rnpikiran dan perasaan yang sama sekali tak
bermanfaat, apalagi jika ikhtilath itu rnoleh pihak wanita sengaja dijadikan
ajang pamer kecantikan dan perhiasannya. rn
rn
Kelima, Islam tidak melarang wanita bekeja. Bahkan dalam kondisi
tertentu, rnIslam mewajibkan wanita bekeja. Yakni jika pekejaan itu memang
benar-benar rndibutuhkan oleh masyarakat demi mencegah madharatl Seperti
profesi dokter rnspesialis wanita, guru di sekolah khusus wanita, bidan serta
profesi lain yang rnmelayani berbagai kebutuhan khusus wanita.
rn
Keenam, dalam kondisi terpaksa, Islam tidak melarang wanita
bekeja, selama rnberpegang dengan tuntunan syari'at. Seperti meminta izin
kepada walinya, rnmenjauhi ikhfilath, khalwat (berduaan dengan selain
mahram), profesinya bukan rnjenis pekerjaan maksiat, jenis pekerjaan itu
dibenarkan syan at, tidak keluar rndari kebiasaan dan tabiat wanita, tidak
mengganggu tanggung jawab pokoknya rnsebagai ibu rumah tangga serta
syarat-syarat lain yang diatur oleh agama. rn
|
Last Updated ( Senin, 29 November 2004 )
|
Saudariku, Apa yang Menghalangimu Berhijab ? (V)
|
Written
by Shaheeh
|
|
Senin,
04 Oktober 2004
|
|
Perjalanan Yang Jauh
rn
Nurah, saudara
perempuanku nampak pucat dan kurus sekali. Tetapi seperti rnbiasa, ia masih
membaca Al-Qur'anul Karim.
Tika ingin menemuinya, pergilah ke rnmushallanya. Di sana engkau akan mendapatinya sedang ruku', sujud dan rnmenengadahkan ke langit. Itulah yang dilakukannya setiap pagi, sore dan di rntengah malam hari. Ia tidak pernah jenuh.
rn
Berbeda dengannya, aku
selalu asyik membaca majalah-majalah seni, tenggelam rndengan buku-buku
cerita dan hampir tak pernah beranjak dari video. Bahkan, aku rnsudah identik
dengan benda yang satu ini. Setiap video diputar pasti di situ ada rnaku.
Karena 'kesibukanku' ini, banyak kewajiban yang tak bisa kuselesaikan
rnbahkan, aku suka meninggalkan shalat.
Setelah tiga jam berturut-turut rnmenonton video di tengah malam, aku dikagetkan oleh suara adzan yang rnberkumandang dari masjid dekat rumahku. Sekonyong-konyong malas menggelayuti rnsemua persendianku, maka aku pun segera menghampiri tempat tidur. Nurah rnmemanggilku dari mushallanya.
rn
Dengan berat sekali,
aku menyeret kaki menghampirinya.
''Ada apa Nurah?,'' rntanyaku. ''Jangan tidur sebelum shalat Shubuh!'', ia mengingatkan. ''Ah. Shubuh rnkan masih satu jam lagi. Yang baru saja kan adzan pertamal'' Begitulah, ia rnselalu penuh perhatian padaku. Sering memberiku nasihat, sampai akhimya ia rnterbaring sakit. ia tergeletak lemah di tempat tidur.
rn
''Hanah!,'' panggilnya
lagi suatu ketika.
Aku tak mampu menolaknya. Suara rnitu begitu jujur dan polos. ''Ada apa saudariku?'', tanyaku rnpelan. ''Duduklah!'' Aku menurut dan duduk di sisinya. Hening... Sejenak rnkemudian Nurah melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan suaranya yang rnmerdu. ''Tiapjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat rnsajalah disempumnkan pahalamu.'' (Al Imran: 185) Diam sebentar, lalu ia rnbertanya: ''Apakah kamu tidak percaya adanya kematian?'' ''Tentu saja rnpercaya!'' ''Apakah kamu tidak percaya bahwa amalmu kelak akan dihisab, baik rnyang besar maupun yang kecil?'' ''Percaya. Tetapi bukankah Allah Maha Pengampun rndan Maha Penyayang, sementara aku masih muda, umurku masih panjang!'' ''Ukhti, rnapakah kamu tidak takut mati yang datangnya tiba-tiba? Lihatlah Hindun, dia rnlebih muda darimu, tetapi meninggal karena sebuah kecelakaan. Lihat pula si rnfulanah...Kematian tidak mengenal umur. Umur bukan ukuran bagi kematian rnseseorang. Aku menjawabnya penuh ketakutan. Suasana tengah malam yang gelap rnmencekam, semakin menambah rasa takutku. ''Aku takut dengan gelap, bagaimana rnengkau menakut-nakutiku lagi dengan kematian ? Di mana aku akan tidur nanti ?'' rnJiwa asliku yang amat penakut betul-betul tampak. Kucoba menenangkan diri aku rnbenusaha tegar dengan mengalihkan pembicaraan pada tema yang menyenangkan, rnrekreasi. ''Oh ya, kukira ukhti setuju pada liburan ini kita pergi rekreasi rnbersama?'', pancingku. '''Tidak, karena barangkali tahun ini aku akan pergi rnjauh, ke tempat yang jauh... mungkin... umur ada di tangan Allah, Hanah'', ia rnlalu terisak. Suara itu bergetar, aku ikut hanyut dalam rnkesedihan. Sekejap, langsung terlintas dalam benakku tentang sakitnya yang rnganas. Para dokter, secara rahasia telah mengabarkan hal itu kepada ayah. rnMenurut analisa medis, para dker sudah tak sanggup, dan itu berarti dekatnya rnkematian.
rn
Tetapi, siapa yang
mengabarkan ini semua padanya?, atau ia memang merasa rnsudah datang
waktunya?,
''Mengapa ternenung? Apa yang engkau lamunkan?'', Nurah rnmembuyarkan lamunanku. ''Apa kau mengira, hal ini kukatakan karena aku sedang rnsakit? Tidak. Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang dari umur orang-orang rnsehat. Dan kamu, sampai kapan akan terus hidup? Mungkin 20 tahun lagi, 40 rntahun atau... Lalu apa setelah itu? Kita tidak berbeda. Kita semua pasti akan rnpergi, entah ke Surga atau ke Neraka. Apakah engkau belum mendengar rnayat: ''Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dimasukkan ke dalam Surga maka rnsungguh ia telah beruntung'' ( Ali Imran: 185) ''Sampai besok pagi,'' ia rnmenutup nasihatnya.
rn
Aku bergegas
meninggalkannya menuju kamar.
Nasihatnya masih rntergiang-ngiang di gendang telingaku, ''Semoga Allah memberimu petunjuk, jangan rnlupa shalat!'' Pagi hari...Jam dinding menunjukkan angka delapan rnpagi.Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar. ''Pada jam ini biasanya aku belum rnmau bangun'' pikirku. Tetapi di luar terdengar suara gaduh, orang banyak rnterisak. ''Ya Rabbi, apa yang tejadi?'' ''Mungkin Nurah...?, ''firasatku rnberbicara. Dan benar, Nurah pingsan, ayah segera melarikannya ke rumah rnsakit.
rn
Tidak ada rekreasi
tahun ini. Kami semua harus menunggui Nurah yang sedang rnsakit.
Lama sekali menunggu kabar dari rumah sakit dengan harap-harap rncemas. Tepat pukul satu siang, telepon di rumah kami berdering. Ibu segera rnmengangkatnya. Suara ayah di seberang, ia menelpon dari rumah sakit. ''Kalian rnbisa pergi ke rumah sakit sekarang!,'' demikian pesan ayah singkat.
rn
Kata ibu, tampak
sekali ayah begitu panik, nada suaranya berbeda dari rnbiasanya.
''Mana sopir...?'' kami semua terburu-buru: Kami menyuruh sopir rnmenjalankan mobil dengan cepat. Tapi ah, jalan yang biasanya terasa dekat bila rnaku menikmatinya dalam pejalanan liburan, kini terasa amat panj ang, panjang dan rnlama sekali. Jalanan macet yang biasanya kunanti-nantikan sehingga aku bisa rnmenengok ke kanan-kiri, cuci mata, kini terasa menyebalkan. Di sampingku, ibu rnberdo'a untuk keselamatan Nurah. ''Dia anak shalihah. Ia tidak pernah rnmenyia-nyia kan waktunya. Ia begitu rajin beribadah'', ibu bergumam rnsendirian.
rn
Kami turun di depan
pintu rumah sakit. Kami segera masuk ruangan. Para pasien rnpada tergeletak
lunglai. Di sana sini terdengar lirih suara rintihan. Ada yang rnbaru saja
masuk karena kecelakaan mobil, ada yang matanya buta, ada yang rnmengerang
keras. Pemandangan yang membuat bulu kudukku merinding.
Kami naik rntangga eskalator menuju lantai atas. Nurah berada di ruang perawatan intensif. rnDi depan pintu terpampang papan peringatan: ''Tidak boleh masuk lebih dari satu rnorang!'' Kami terperangah. Tak lama kemudian, seorang perawat datang menemui, rnkami. Perawat memberitahu kalau kini kondisi Nurah mulai membaik, setelah rnbeberapa saat sebelumnya tak sadarkan diri.
rn
Di tengah kerumunan
para dokter yang merawat, dari sebuah lubang keciljendela rnyang ada di
pintu, aku melihat kedua bola mata Nurah sedang memandangiku. Ibu rnyang
berdiri di sampingnya tak kuat menahan air matanya. Waktu besuknya habis,
rnibu segera keluar dari ruang perawatan intensif.
Kini tiba giliranku masuk. rnDokter memperingatkan agar aku tidak banyak mengajaknya bicara. Aku diberi waktu rndua menit. ''Assalamu 'alaikum!, bagaimana keadaanmu Nurah?, tadi malam, rnengkau baik-baik saja. Apa yang terjadi denganmu?'', aku menghujaninya dengan rnpertanyaan. ''Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja, jawabnya dengan rnberusaha tersenyum. ''Tapi, mengapa tanganmu dingin sekali, kenapa?'' aku rnmenyelidik. Aku duduk di pinggir dipan. Lalu kucoba meraba betisnya, tapi ia rnsegera menjauhkannya dari jangkauanku. ''Ma'af, kalau aku mengganggumu!'', aku rntertunduk. ''Tidak apa-apa. Aku hanya ingat firman Allah Ta'ala: ''Dan rnbertaut betis(kiri) dengan betis(kanan), kepada Tuhanmullah pada hari itu kami rndihalau''. (Al-Qiyamah: 29-30) Nurah melantunkan ayat suci Alquran. Aku rnmenguatkan diri. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menangis dihadapan rnNurah, aku membisu. '' Hanah, berdoalah untukku. Mungkin sebentar lagi aku rnakan menghadap. Mungkin aku segera mengawali hari pertama kehidupanku rndiakhirat…Perjalananku amat jauh tapi bekalku sedikit sekali''. Pertahananku rnruntuh. Air mataku tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya. Ayah mengkhawatirkan rnkeadaanku. Sebab mereka tak pernah melihatku menangis seperti itu. Bersamaan rndengan tenggelamnya matahari pada hari itu. Nurah meninggal dunia….
rn
Suasana begitu cepat
berubah. Seperti baru beberapa menit aku rnbebincang-bincang dengannya. Kini
ia telah meninggalkan kami buat rnselama-selamanya. Dan, ia tak akan pernah
bertemu lagi dengan kami. Tak akan rnpernah pulang lagi. Tidak akan
bersama-sama lagi. Oh Nurah…
Suasana dirumah rnkami digelayuti duka yang amat dalam. Sunyi mencekam. Lalu pecah oleh tangisan rnyang mengharu biru. Sanak kerabat dan tetangga berdatangan melawat. Aku tidak rnbisa membedakan lagi, siapa-siapa yang datang, tidak pula apa yang mereka rnpercakapan. Aku tenggelam dengan diriku sendiri. Ya Allah, bagaimana dengan rndiriku? Apa yang bakal terjadi pada diriku? Aku tak kuasa lagi, meski sekedar rnmenangis. Aku ingin memberinya penghormatan terakhir. Aku ingin menghantarkan rnsalam terakhir. Aku ingin mencium keningnya.
rn
Kini, tak ada sesuatu
yang kuingat selain satu hal. Aku ingat firman Allah rnyang dibacakannya
kepadaku menjelang kematiannya.
''Dan bertaut betis (kiri) rndengan betis (kanan)''. Aku kini benar-benar paham bahwa,''Kepada Tuhanmullah pada rnhari itu kamu dihalau'' ''Aku tidak tahu, ternyata malam itu, adalah malam rnterakhir aku menjumpainya di mushallanya. Malam ini, aku sendirian di rnmushalla almarhumah. terbayang kembali saudara kembarku, Nurah yang demikian rnbaik kepadaku. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihanku, ikut memahami dn rnmerasakan kegalauanku, saudari yang selalu mendo'akanku agar aku mendapat rnhidayah Allah, saudari yang senantiasa mengalirkan air mata pada tiap-tiap rnpertengahan malam, yang selalu menasihatiku tentang mati, hari perhitungan….ya rnAllah!
rn
Malam ini adalah malam
pertama bagi Nurah dikuburnya. Ya Allah, rahmatilah rndia, terangilah
kuburnya.
Ya Allah, ini mushaf Nurah, …ini sajadahnya…dan rnini..ini gaun merah muda yang pernah dikatakannya padaku, bakal dijadikan rnkenangan manis pernikahannya. Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan rnsia-sia. Aku menangis terus-menerus, tak bisa berhenti. Aku berdo'a kepada Allah rnsemoga Dia merahmatiku dan menerima taubatku. Aku mendo'akan Nurah agar rnmendapat keteguhan dan kesenangan di kuburnya, sebagaimana ia begitu sering dan rnsuka mendo'akanku. Tiba-tiba aku tersentak dengan pikiranku sendiri. ''Apa rnyang terjadi jika yang meninggal adalah aku? Bagaimana kesudahanku?'' Aku tak rnberani mencari jawabannya, ketakutanku memuncak. Aku menangis, menangis lebih rnkeras lagi. Allahu Akbar, Allnhu Akbar...Adzan fajar berkumandang. Tetapi, duhai rnalangkah merdunya suara panggilan itu kali ini.
rn
Aku merasakan
kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Aku jawab ucapan rnmuadzin, lalu
segera kuhamparkan lipatan sajadah, selanjutnya aku shalat Shubuh. rnAku
shalat seperti keadaan orang yang hendak berpisah selama-lamanya. Shalat
rnyang pemah kusaksikan terakhir kali dari saudari kembarku Nurah.
Jika tiba rnwaktu pagi, aku tak menunggu waktu sore dan jika tiba waktu sore, aku tidak rnmenunggu waktu pagi. |
|
Last
Updated ( Senin, 29 November 2004 )
|
Saudariku,
Apa yang menghalangimu berhijab (IV) ?
|
Written
by Shaheeh
|
|
Senin,
04 Oktober 2004
|
|
G. KISAH-KISAH NYATA
rn
1. Kematian Yang
Tiba-tiba
Seorang anggota parlemen dalam kondisi rnkesehatan yang prima, penuh energi dan memiliki etos kerja sangat tinggi, rnorangnya masih muda. Namun, tiba-tiba virus ganas menyerang otaknya. Tak rnberlangsung lama, virus itu berubah menjadi segumpal daging. Anggota parlemen rnitu akhimya tak berdaya dan meningal dengan cara yang amat mengenaskan.
rn
2. Kematian Tak Kenal
Orang Sehat atau Sakit
Seorang komandan tinggi di rnjajaran Angkatan Bersenjata, ia tak pernah mengeluhkan suatu penyakit apapun, rntubuhnya padat berisi, otot-ototnya kekar, lincah dan gesit dalam melakukan rntugas di teritorialnya. Seperti biasa, pada suatu malam, ia pergi tidur. Di rnpagi hari, sang ibu membangunkannya. Tak ada jawaban. Apa yang tejadi? Ternyata rntubuhnya sudah dingin dan terbujur kaku. Tidur itu menghantarnya pada kematian rndan tak pemah kembali lagi.
rn
3. Temanku Mati
Terbakar
Abu Abdillah berkata: ''Aku tak tahu, bagaimana rnharus menuturkan kisah ini padamu. Kisah yang pemah kualami sendiri beberapa rntahun lain, sehingga mengubah total perjalanan hidupku. Sebenarnya aku tak ingin rnmenceritakannya, tapi demi tanggung jawab di hadapan Allah, demi peringatan bagi rnpara pemuda yang mendurhakai Allah dan demi pelajaran bagi para gadis yang rnmengejar bayangan semu, yang disebut cinta, maka kuungkapkan kisah ini. Ketika rnitu kami tiga sekawan. Yang mengumpulkan kami adalah kesamaan nafsu dan rnkesia-siaan. Oh tidak, kami berempat. Satunya lagi adalah setan.
rn
Kami pergi berburu
gadis-gadis. Mereka kami rayu dengan kata-kata manis, rnhingga mereka takluk,
lain kami bawa ke sebuah taman yang jauh terpencil. Di rnsana, kami berubah
menjadi serigala-serigala yang tak menaruh belas kasihan rnmendengar rintihan
permohonan mereka, hati dan perasaan kami sudah rnmati.
Begitulah hari-hari kami di taman, di tenda, atau dalam mobil yang di rnparkir di pinggir pantai. Sampai suatu hari, yang tak mungkin pernah saya bisa rnmelupakannya, seperti biasa kami pergi ke taman. Seperti biqsa pula, rnmasing-masing kami menyantap satu mangsa gadis, ditemani minuman laknat. Satu rnhal kami lupa.saat itu, makanan.
rn
Segera salah Seorang
di antara kami bergegas membeli makanan dengan rnmengendarai mobilnya. Saat
ia berangkat, jam menunjukkan pukul enam sore. rnBeberapa jam berlalu, tapi
teman kami itu belum kembali. Pukul sepuluh malam, rnhatiku mulai tidak enak
dan gusar. Maka aku segera membawa mobil untuk rnmencarinya. Di tengah
perjalanan, di kejauhariaku melihat jilatan api. Aku rnmencoba mendekat.
Astaghfirullah, aku hampir tak percaya dengan yang rnkulihat.Ternyata api itu
bersumber dari mobil temanku yang terbalik dan rnterbakar. Aku panik seperti
orang gila.Aku segera mengeluarkan tubuh temanku rndari mobilnya yang masih
menyala. Aku ngeri tatkala melihat separuh tubuhnya rnmasak terpanggang api.
Kubopong tubuhnya lalu kuletakkan di tanah.
rn
Sejenak kemudian, dia
berusaha membuka kedua belah matanya, ia berbisik rnlirih: ''Api...,
api...!''
Aku memutuskan untuk segera membawa ke rumah sakit rndengan mobilku. Tetapi dengan suara campur tangis, ia mencegah: '';Tak ada rngunanya.. aku tak akan sampai...!l Air mataku tumpah, aku harus menyaksikan rntemanku meninggal dihadapanku. Di tengah kepanikanku, tiba-tiba ia berteriak rnlemah: ''Apa yang mesti kukatakan padarnya? Apa yang mesti kukatakan rnpadaNya?'' Aku memandanginya penuh keheranan. ''Siapa?'' tanyaku. Dengan suara rnyang seakan berasal dari dasar Sumur yang amat dalam, dia menjawab: rn''Allah!'' Aku merinding ketakutan. Tubuh dan perasaanku terguncang keras. rnTiba-tiba temanku itu menjerit,gemanya menyelusup ke setiap relung malam yang rngulita, lain kudengar tarikan nafasnya yang terakhir. Innanlillaahi wa innaa rnilaihi raaji 'uun.
rn
Setelah itu, hari-hari
berlalu seperti sedia kala, tetapi bayangan temanku rnyang meninggal, jerit
kesakitannya, api yang membakaryal dan lolongannya ''Apa rnyang harus
kukatakan padaNya? Apa yang harus kukatakan padaNya?'', seakan terus
rnmembuntuti setiap gerak dan diamku.
Pada diriku sendiri aku bertanya: rn''Aku,... apa yang harus kukatakan padaNya?'' Air mataku menetes, lain sebuah rngetaran aneh menjalari jiwaku. Saat puncak perenungan itulah, sayup-sayup aku rnmendengar adzan Shubuh menggema: ''Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu Anla rnIlaaha Illa Allah... Asyhadu Anna Muhammadar XasuluNah... Hayya 'Alash rnShalaah...''
rn
Aku merasa bahwa adzan
itu hanya ditujukan pada diriku saja, mengajakku rnmenyingkap fase
kehidupanku yang kelam, mengajakku pada jalan cahaya dan rnhidayah.
Aku segera bangkit, mandi dan wudhu, menyucikan tubuhku dari rnnoda-noda kehinaan yang menenggelamkanku selama bertahun-tahun. Sejak saat itu rnaku tak pernah lagi meninggalkan shalat.
rn
4. Kesudahan Yang Berlawanan Tatkala masih di bangku sekolah, aku rnhidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan yang balk. Aku selalu mendengar rndo'a ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, rnia selalu dalam Shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu rnlama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang. Aku sungguh rnheran. Bahkan hingga aku berkata kepada' diri sendiri: ''Alangkah sabarnya rnmereka...setiap hari begitu...benar-benar mengherankan!'' Aku belum tahu bahwa rndi situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat orang-orang rnpilihan...Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk bermunajat kepada Allah.
rn
Setelah menjalani
pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. rnTetapi diriku
semakin jauh dari Allah. Padahal berbagai nasihat selalu kuterima rndan
kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah tamat dari pendidikan, aku rnditugaskan ke kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman rnsekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing. Di rnsana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur'an. Tak ada lagi suara ibu yang rnmembangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari rnlingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.
rn
Aku ditugaskan
mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga rnkeamanan
jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan rnbantuan.
Pekejaan baruku sungguh menyenangkan Aku lakukan tugas-tugasku rndengan semangat dan dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu rndiombang-ambingkan ombak. Aku bingung dan sering melamun sendirian...banyak rnwaktu luang...pengetahuanku terbatas. Aku mulai jenuh...tak ada yang rnmenuntunku di bidang agama. Aku'sebatang kara. Hampir tiap'•hari yang kusaksikan rnhanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentult rnpenganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah rnsuatu peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan.
rn
Ketika kami dengan
seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan.Kami rnasyik
ngobrol…tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. rn
Kami mengalihkan pandangan. Teryata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil rnlain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat rnkejadian untuk menolong Korban. Kejadian yarng sungguh tragis. Kami lihat dua rnawak salah satu mobil daIam kondisi sangat kritis kedua nya segera kami rnkeluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.
rn
Kami cepat-cepat
menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas rndengan amat
mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam rnkondisi
koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat. rn:
Ucapkanlah ''Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…'' perintah rntemanku. Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu. rnKeadaan itu membuatku merinding. Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi rnorang-orang yang sekarat...Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.
rn
Aku diam membisu. Aku
tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, rnaku belum pernah
menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi rnseperti ini.
Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. rnTetapi...
keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.
Tak ada rngunanya... Suara lagunya semakin melemah...lemah dan lemah sekali. Orang rnpertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak... keduanya rntelah meninggal dunia.
rn
Kami segera membawa
mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak rnberbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan, hening. Kesunyian rnpecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan rnsu'ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata: ''Manusia akan mengakhiri rnhidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa rnyang dilakukan olehnya selama di dunia''. Ia bercerita panjang lebar padaku rntentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga rnberbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa rnlalunya secara lahir batin. Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh rnpembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya rntatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat. Tiba-tiba aku menjadi takut rnmati. Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku rnshalat kusyu' sekali.Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa rnitu.
rn
Aku kembali pada
kebiasaanku semula...Aku seperti tak pemah menyaksikan apa rnyang menimpa dua
orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi sejak saat rnitu, aku
memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak rnmau
tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan
rnlagu yang pemah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.
rn
* Kejadian Yang
Menakjubkan...
Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan rnitu...sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku. Seseorang rnmengendarai mobilnya denganpelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah rnterowongan menuju kota. Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang rnkempes. Ketika ia berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, rntiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. rnLelaki itu pun langsung tersungkur seketika.
rn
Aku dengan seorang
kawan, -bukan yang menemani-ku pada peristiwa yang rnpertama- cepat-cepat
menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan rnsegera pula kami
menghubungi rumah sakit agar langsung rnmendapatpenanganan.
Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang rnyang ta'at menjalankan perintah agama. Ketika mengangkatnya ke mobil, kami rnberdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan rnsesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan rnsuara yang keluar dari mulutnya. Ia melantunkan ayat-ayat suci rnAl-Qur'an...dengan suara amat lemah. ''Subhanallah! '' dalam kondisi kritis rnseperti , ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-quran? Darah mengguyur rnseluruh pakaiannya; tulang-tulangnya patah, bahkan:ia hampir mati.
rn
Dalam kondisi seperti
itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan rnsuaranya yang merdu.
Selama hidup aku tak pernah mendengar suara bacaan' al rnquran seindah itu.
Dalam batin aku bergumam sendirian: ''Aku akan menuntun rnmembaca syahadat
sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu... apalagi rnaku Sudah
punya pengalaman'' aku Meyakinkan diriku sendiri.
Aku dan kawanku rnseperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qurlan yang merdu itu. rnSekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan menyelusup ke setiap rnrongga.
rn
Tiba-tiba suara itu
berhenti. Aku menoleh ke belakang. Kusaksikan dia rnmengacungkan jari
telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat rnke belakang.
Kupegang tangannya, detak jantungnya nafasnya, tidak ada yang rnterasa. Dia
telah meninggal dunia.
Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air rnmataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan rnkepada kawanku kalau pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan rntangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku rnderas mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.
rn
Sampai di rumah
sakit...Kepada orang-orang di sanal kami mengabarkan perihal rnkematian
pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak
rnorang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang
meneteskan rnair mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya,
segera menghampiri rnjenazah dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak rnberanjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka rningin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut rnmenyalatinya. i
rn
Salah seorang petugas
tumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut rnmengantarkan jenazah
hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya rnmengisahkanl ketika
kecelakaan sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di rndesa. Pekejaan
itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Di sana almarhum juga rnmenyantuni
para janda, anak yatim dan orang-orang miskin. Ketika tejadi rnkecelakaan,
mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang rnkebutuhan
pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan rnkaset-kaset
pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia
rnsantuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada
anak-anak rnkecil.
Bila ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, rnia menjawab dengan halus. ''Justru saya memanfaatkan waktu pejalananku dengan rnmenghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur'an, juga dengan mendengarkan rnkaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap langkah kaki yang rnaku ayunkan,'' kata almarhum.
rn
Aku ikut menyalati
jenazah dan mengantamya sampai ke kuburan.
Dalam liang rnlahat yang sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke rnkiblat. ''Dengan nama Allah dan atas ngama Rasulullah''. Pelan-pelan, kami rnmenimbuninya dengan tanah...Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu, rnsesungguhnya dia akan ditanya... Almarhum menghadapi hari pertamanya dari rnhari-hari akhirat...
rn
Dan aku... sungguh
seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia.Aku rnbenar-benar
bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah mengampuni rndosa-dosaku
di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya, memberiku rnkesudahan
hidup yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan kuburanku dan rnkuburan
kaum muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin...
|
|
Last
Updated ( Senin, 06 Juli 2012 )
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar