Tafsir
Ahkam II
Hukum
Mengangkat Pemimpin Non Muslim
Disusun
Oleh:
MohdHadidi
201010020311017
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG
2012
(28) Janganlah orang-orang yang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin
melainkan orang-orang yang beriman. Dan barang siapa, yang berbuat demikian niscaya
dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga
diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka
dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)Nya, dan hanya kepada
Allah tempat kembali.
(29) Katakanlah: “Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu
atau kamu nyatakan, Allah pasti mengetahuinya.” Dia mengetahui apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.[1]
A.
Makna Ayat di atas
لا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنينَ
"Janganlah
orang-orang yang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin melainkan
orang-orang yang beriman." (pangkal ayat 28).
Di sini terdapat perkataan aulia'. Arti kata
wali, yang berarti pemimpin atau pengurus atau teman karib, ataupun sahabat
ataupun pelindung. Di surat al-Baqarah ayat 256 kita telah diberikan pegangan,
bahwasanya wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung dan pengurus orang
yang beriman hanya Allah. Di ayat itu Tuhan memberikan jaminannya sebagai wali,
bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari gelap kepada terang. Dan di
dalam ayat itu juga diterangkan bahwa wali orang yang kafir adalah Thaghut dan Thaghut
itu akan mengeluarkan mereka dari terang kepada gelap.( Lihat Tafsir Ibnu
kassir)
Maka di dalam ayat yang tengah kita
bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman, agar mereka
jangan mengambil orang kafir menjadi wali (Pemimpin). Jangan orang yang tidak
percaya kepada Tuhan dijadikan wali sebagai pemimpin, atau wali sebagai
sahabat. Karena akibatnya kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam
suasana thaghut Kalau dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu
akan dibawanya menyembah thaghut. Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan
diajaknya kepada jalan sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.
وَ
مَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ في شَيْءٍ
"
Dan barang siapa, yang berbuat demikian niscaya dia tidak akan memperoleh
apapun dari Allah"
Tegasnya, dengan sebab mengambil wali kepada kafir, baik pimpinan atau
persahabatan, niscaya lepaslah dari perwalian Allah, putus dari pimpinan Tuhan,
maka celakalah yang akan mengancam.
إِلاَّ
أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقاةً
"
kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka "
Beratus-ratus tahun lamanya
negeri-negeri Islam banyak yang dijajah oleh pemerintahan yang bukan Islam,
karena terpaksa. Karena tergagah, karena senjata untuk melawan dan kekuatan
untuk bertahan tidak ada lagi. Maka tetaplah larangan pertama, yaitu tidak
menukar wali dari Allah kepada mereka. Kalau ini tidak dapat dinyatakan keluar,
hendaklah disimpan terus di dalam hati dan hendaklah selalu awas sebenar-benar
awas, supaya dengan segala daya-upaya bahaya mereka itu untuk membelokkan dari
Allah kepada Thaghut dapat ditangkis. Pendeknya , sampai kepada saat yang
terakhir wajib melawan , walaupun dalam hati.[2]
وَ
يُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
"Dan
Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya."
Di sambungan ayat ini Allah Ta'ala memberi peringatan dengan
keras, bahwa di dalam urusan ini, khusus dalam taqiyah, janganlah dipandang
enteng. Jangan sampai sikap taqiyah itu dijadikan tempat lari untuk melepaskan
diri dari tanggung-jawab menghadapi lawan. Hendaklah awas dan jangan
sekali-kali lupa bahwa diri Allah Ta'ala senantiasa ada, senantiasa mengawasi,
dan menilik sepak terjang yang kamu lakukan. Karena kalau taqiyah itu akan
membawa agama Allah jadi lemah, bukanlah dia taqiyah lagi tetapi beralih menjadi
sikap pengecut. Itu sebabnya maka ujung ayat lebih menjelaskan pula, bahwa baik
di waktu kamu sedang kuat, lalu menolak kerjasama dengan musuh yang akan
melemahkan agamamu, atau sedang lemah sehingga terpaksa kamu mengambil sikap
taqiyah, namun ingatlah:
وَ إِلَى اللهِ الْمَصيرُ
"Dan
kepada Allahlah tujuan kamu." (ujung
ayat 28).
Akhir ayat ini mengingatkan kita
akan perumpamaan hidup kita yang tengah berlayar di tengah lautan besar,
menaiki sebuah bahtera. Sejak dari permulaan berlayar kita telah menentukan
tujuan dan arah di mana bahtera itu akan berlabuh. Lalu pelayaran kita
teruskan. Tetapi oleh karena laut itu
tidak senantiasa tenang, bahkan ada gelombang, ada taufan, ada badai dahsyat,
sudahlah dalam perhitungan bahwa kadang-kadang bahtera itu akan dihalau oleh
angin entah ke mana. Tetapi betapa pun hebatnya pukulan gelombang, namun
nakhoda kapal wajib tetap menjaga pedoman, tidak boleh berkisar dari tujuan
semula. Tujuan bahtera hidup beragama ialah Allah.
Untuk kelengkapan penafsiran ini
hendaklah kita tilik lagi ayat 8 dan ayat 9 dari surat 60 (al-Mumtahanah).
Surat ini pun diturunkan di Madinah. Di ayat 8 ditegaskan bahwa terhadap kafir
yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusirmu dari kampung halaman kamu,
tidaklah mengapajika hidup berdampingan dengan damai ( an-tabarru-hum ) dan
berhubungan secara adil ( watuq-sithu ilaihim ) ; memberi dan
menerima, duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Lalu di ayat 9 ditegaskan lagi,
bahwa jika musuh itu memerangi kamu dalam hal agama dan mengusir kamu dari
kampung halaman kamu dan dengan terang-terang pula pengusiran itu, tidaklah
kamu boleh bersahabat atau berhubungan dengan mereka.
Niscaya kita dapat berpikir lebih lanjut
tentang isi sekalian ayat ini. Baik ayat-ayat yang tegas melarang dan
memerintahkan supaya selalu awas, atau ayat yang membolehkan berhubungan dengan
mereka, karena taqiyah atau karena kuat. Kalau kita kuat tentu tidak
berhalangan kalau kita berhubungan dan berdamai dengan kafir, membuat perjanjian-perjanjian
dagang, utang piutang dan lain-lain sebagainya, terutama hidup bernegara di
zaman modern, tidaklah ada satu negeri yang dapat memencilkan diri dari negeri
lain. Sudahlah selayaknya jika wakil-wakil dari negeri dan negara Islam duduk
bersama bermusyawarat memperkatakan soal-soal internasional dengan wakil-wakil
negara-negara lain.
Adapun sikap awas dan waspada, sikap
tidak lupa kepada diri Allah, niscaya tidak boleh dilepaskan, baik di waktu
lemah, atau pun di waktu kuat.
قُلْ إِنْ تُخْفُوا ما في صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللهُ وَ يَعْلَمُ ما فِي السَّماواتِ وَ ما فِي الْأَرْضِ
"Katakanlah: Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam
dada kamu, atau pun kamu nampakkannya, namun Allah mengetahuinya juga, dan
Diapun mengetahui apa yang ada di semua langit dan apa yang di bumi. "
(pangkal ayat 29)
Ayat ini adalah pengikat jiwa yang halus
sekali bagi orang-orang yang beriman. Dia adalah sebagai sambungan dari Allah
memperingatkan tentang diriNya tadi. Mereka pada pokoknya dilarang keras lebih
mementingkan pimpinan orang kafir dan mengangkat mereka jadi wali, sehingga
melebihkan pandangan kepada mereka daripada memandang sesama mu'min. Cuma di
saat yang terpaksa dan menilai keadaan, baru boleh melakukan taqiyah. Di ayat
ini diperingatkan bahwa Tuhan mengetahui apa yang kamu sembunyikan dalam dada
dan mana yang kamu nampakkan dan nyatakan.
Orang
banyak dapat kamu kicuh, dan Tuhan tidak! Maka lebih tertekanlah peringatan ini
kepada Ulil-Amri, orang-orang yang bertanggung-jawab; jangan sampai misalnya
membela kelemahan diri dengan menyebut taqiyah. Kontrol sejati adalah di tangan
Tuhan , dan sewaktu-waktu pekerjaan yang curang dan busuk akan berbau juga oleh
orang banyak. Disebut dalam ayat ini, bahwa yang diketahui Allah itu bukan saja
isi dada manusia yang tersembunyi atau sikap manusia yang nyata. Usahkan itu,
sedangkan rahasia semua langit dan bumi lagi diketahuiNya.
Kadang-kadang ditafsirkan dengan nyata
di hadapan mata kita. Yaitu pertalian isi dada manusia dengan mulutnya dengan
rahasia langit dan bumi. Satu hal pernah kejadian. Yaitu pada suatu hari
seorang kepala negara yang sombong berkata sambil mendabik dadanya, bahwa kita
manusia ini harus sanggup menundukkan alam. Dua hari saja sesudah dia berpidato
sombong akan menundukkan alam itu, terjadilah hujan lebat di kota kediamannya,
yaitu hujan lebat yang membawa banjir besar. Dia yang berpidato itu terpaksa
dihusung atau ditandu orang ketika akan keluar dari istana, sebab mobil yang
akan membawanya tidak dapat berjalan dalam banjir dan mesinnya tidak bisa
hidup.
Maka orang yang menyaksikan berkata:
"raja kita katanya hendak menundukkan alam. Sekarang dia juga rupanya yang
wajib tunduk kepada alam!"
Seorang pemimpin komunis tidak berTuhan
pernah berkata dalam satu rapat umum: "Kalau kamu tidak bisa bergerak
membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam, lebih baik tukar celanamu dengan sarung
(jadi perempuan)." Sehari sesudah dia bercakap berapi-api itu, kaum
komunis mengadakan berontak hendak merebut kekuasaan dan membunuh enam
orang Jendral.
Rupanya pemberontakan mereka hanya
berjalan sehari saja sedang petang harinya sudah dapat digagalkan. Maka
Pemimpin Komunis yang sombong itu terpaksa lari meninggalkan kota, benar-benar
dengan menukar celana dengan sarung.Itulah sebabnya maka akhir ayat berbunyi:
وَ
اللهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَديرٌ
"Dan
Allah atas tiap-tiap sesuatu Maha Kuasa." (ujung ayat 29).
Hanya
orang Mu'min yang dapat merasai hal yang seperti ini. Betapa kekuasaan Allah
atas isi dada manusia dan betapa kekuasaan Allah atas seluruh langit bumi.
Kadang-kadang kita bertemu dengan kemenangan padahal menurut perhitungan kita
belum nampak pintunya. Kadang-kadang kita merasa bahwa rencana kita akan
berjalan menurut yang kita gariskan.[3]
Tiba-tiba datang saja kejadian lain yang tidak pula kita sangka-sangka sehingga
rencana Allah jualah yang berjalan. Oleh sebab itu maka baik di waktu senang,
sekali-kali janganlah lupa memperhitung kan Maha Kuasanya Allah.
B.
Asbabun Nuzul Ayat Diatas
Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu
Jarir dan Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu Abbas berkata: "Al-Hajjaj bin 'Amr
mengikat janji setia kawan dengan Ka'ab bin al-Asyraf (pemuka Yahudi yang
terkenal sebagai penafsir) dan Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid. Ketiga orang
ini telah bermaksud jahat hendak mengganggu kaum Anshar itu lalu ditegur oleh
Rifa'ah bin al-Mundzir dan Abdullah bin Jubair dan Sa'ad bin Khatamah, supaya
mereka menjauhi orang-orang Yahudi yang tersebut itu. Hendaklah mereka berawas
diri dalam perhubungan dengan mereka, supaya agama mereka jangan difitnah oleh
orang-orang Yahudi itu. Tetapi orang-orang yang diberi peringatan itu tidak
memperdulikannya." Inilah kata Ibnu Abbas yang menjadi sebab turunnya ayat
ini.
Ada lagi suatu riwayat lain yang
dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari beberapa
jalan riwayat, bahwasanya tafsir ayat ini ialah bahwa Allah melarang orang-orang
yang beriman bersikap lemah-lembut terhadap orang kafir dan mengambil mereka
jadi teman akrab melebihi sesama beriman, kecuali kalau orang-orang kafir itu
lebih kuat daripada mereka. Kalau demikian tidaklah mengapa memperlihatkan
sikap lunak, tetapi hendaklah tetap diperlihatkan perbedaan di antara agama
orang yang beriman dengan agama mereka. Untuk mendekatkan kepada faham kita,
bacalah pula tafsir surat al-Mumtahanah (Surat 60 ayat 1). Seorang sahabat Nabi
yang terkemuka, pernah turut dalam peperangan Badar, bernama Hathib bin Abi
Balta'ah, seketika Rasulullah saw menyusun kekuatan buat menaklukkan Makkah,
dengan secara diam-diam dan rahasia telah mengutus seorang perempuan ke Makkah,
membawa suratnya kepada beberapa orang musyrikin di Makkah, menyuruh mereka
bersiap-siap, sebab Makkah akan diserang.
Maksudnya ialah untuk menjaga dirinya
sendiri. Sebab kalau serangan itu gagal, dia sendiri tidak akan ada yang
memperlindunginya di Makkah. Dia tidak mempunyai keluarga besar di Makkah,
seperti sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w, yang lain. Dengan mengirim surat itu
dia hendak mencari perlindungan. Syukurlah Tuhan memberi isyarat kepada
Rasulullah tentang kesalahan Hathib itu, sehingga beliau suruh kejar perempuan
itu, sampai digeledah surat itu di dalam sanggulnya. 'Umar bin Khattab telah
meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh Hathib karena perbuatannya yang dipandang
berkhianat itu. Untuk kepentingan[4]
diri sendiri dia telah membuat hubungan dengan orang kafir. Perbuatannya itu
salah. Sebab dia telah membocorkan rahasia peperangan, syukurlah suratnya itu
dapat ditangkap. Kalau bukanlah karena jasanya selama ini, terutama karena dia
telah turut dalam peperangan Badar, niscaya akan berlakulah atas dirinya
hukuman berat.
C.
Kandungan Hukum dalam ayat Ali-Imran
Ayat 28-29.
Dari ayat di atas terdapat perkataan aulia'. Dahulupun
pernah kita uraikan arti kata wali, yang berarti pemimpin atau pengurus atau
teman karib, ataupun sahabat ataupun pelindung. Oleh sebab itulah orang mukmin
dilarang mengangkat pemimpin (wali) dari orang-orang kafir. Hal inilah yang
merupakan kandungan hukum dari tafsir Qur’an surat Ali Imran ayat 28-29 diatas
yang merupakan penegasan kepada orang mukmin untuk tidak menggangkap pemimpinya
dari orang kafir.
Tidak hanya pada ayat 28-29 akan tetapi di
ayat yang lain juga, dijelaskan menganai tidak bolehnya mengangkat pemimpin
orang mukmin dari orang kafir seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah[5]
ayat 256 kita telah diberikan pegangan, bahwasanya wali yang sejati, artinya
pemimpin, pelindung dan pengurus orang yang beriman hanya Allah. Di ayat itu
Tuhan memberikan jaminannya sebagai wali, bahwa orang yang beriman akan
dikeluarkan dari gelap kepada terang. Dan di dalam ayat itu juga diterangkan
bahwa wali orang yang kafir adalah Thaghut dan Thaghut itu akan mengeluarkan
mereka dari terang kepada gelap.
Kemudian di dalam ayat yang lain kita telah
bertemu pula keterangan bahwasanya orang beriman sesama beriman yang sebahagian
menjadi wali dari yang lain, sokong-menyokong, bantu membantu, sehingga arti
wali di sini ialah persahabatan. Maka di dalam ayat yang tengah kita bicarakan
ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman, agar mereka jangan
mengambil orang kafir menjadi wali. Intinya orang yang beriman hendaklah
mengangkat pemimpin juga dari orang yang beriman karena pemimpin adalah orang
yang mengajak kepada kebenaran yak amar ma’ruf nahi munkar.
Selanjutnya kandungan ayat hukum ayat diatas
tentnag penegasan secara tegas bahwa dilarangnya mengangkat pemimpin dari orang
kafir mulai dari kata “Janganlah orang yang tidak percaya kepada Tuhan
dijadikan wali sebagai pemimpin, atau wali sebagai sahabat. Karena akibatnya
kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam suasana thaghut Kalau
dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya menyembah
thaghut.
Kalau
mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan diajaknya kepada jalan sesat, menyuruh
berbuat jahat, mencegah berbuat baik, kita sudah ketahui bahwa pemimpinlah yang
menuntun kita kepada kebenaran menuju kepada ajaran alquran dan sunnah
Rasulullah Saw, sehingga pemimpin dalam Islam menjadi suri tauladan yang baik
bagi masyarakat yang dipimpinnya, dan bukankah nanti juga pemimpin akan di
minta pertanggung jawaban atas yang dipimpinya, hala inilah yang sangat di
perlukan bahwa orang yang beriman hendaklah mengangkat pemimpin dari orang yang
beriman juga,”.
D.
Kesimpulan Penulis
Dari tafsir surat Ali
Imran ayat 28-29 diatas dan berdasarkan kandungan hukum dalam ayat diatas
penulis menyimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Ø Orang Mukmin dilarang mengangkat pemimpin dari orang kafir
yang memimpin dirinya dan masyrakat kecuali dalam kondisi darurat.
Ø Orang kafir tidak tidak dibenarkan memimpin orang mukmin
(orang yang beriman) dikhawatirkan akan membawa orang-orang yang beriman jauh dari Allah
Ø Dan pemimpin orang yang beriman hendaklah orang yang beriman
juga, sehingga lebih membawa kepada jalan-jalan kebenaran yakni kebenaran islam
dan menjadi pemimpin yang sesui dengan tuntutan islam.dll
Terahir demikianlah makalah tentang tafsir
Surat Ali Imran ayat 28-29 ini semoga
bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi kita yang mempelajari tafsir mengenai
hukum mengangkap peimpin dari orang-orang kafir (non Muslim). Berdasarkan ayat
tersebut dai atas ternyata orang yang beriman dilarang mengangkat pemimpin dari
orang kafir semoga bermanfaat. walhuallam bissawwab.(Hadidi.com).
DAFTAR
PUSTAKA
__________Tafsir Ibnu Katsir/ Mukadimah Tafsir Ibnu
Katsir pengantar“Syekh Imam Al-Hafiz,
Imaduddin Abul Fida Ismail ibnul Khatib Abu Hafs, Umar ibnu Kasir”
__________ Tafsir http://ibnukatsir.wordpress.com
dan bilma’sur didownload dari http://www.vbaitullah.or.id.Kumpula PDf tafsir bil ma’sur mufassir
diuplod tgl 29/maret 2011
__________Tafsir Ath Thabari
_________ Kumpulan hukum dalam tafsir surat Ali
Imran ayat 28-29, “Mengakat
pemimpin daro orang kafir”oleh Arif Fathul Ulum bin AhmadSaifullah”2004.
_________Tafsir
Al Misbah penulis Qurais Shihab.
_______
Jalalain Assyuthi dan assukani.
[1] . Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab,
juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong
6.Majmu' Fatawa: 13/332
Tidak ada komentar:
Posting Komentar